Blogger Widgets

IsdiQLia

Senin, 15 Juni 2015

Metodologi studi Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an diyakini sebagai firman-firman Allah dan merupakan petunjuk mengenai apa yang dikehendaki-Nya. Jika manusia ingin menyesuaikan sikap dan perbuatannya dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT, demi meraih kebahagiaan akhirat, tentu harus memahami maksud dari petunjuk-petunjuk tersebut. Upaya untuk memahami firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia itulah yang disebut dengan tafsir.
Lahirnya metode-metode tafsir disebabkan oleh tuntutan perubahan social yang dinamik. Dinamika perubahan social mengisyaratkan kebutuhan pemahaman yang kompleks. Sehingga pemahaman atas Al-Quran itulah yang mengakibatkan, tidak boleh tidak, para mufasir harus menjelaskan pengertian ayat-ayat Al-Quran yang berbeda-beda.
Al-quran secara tekstual memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teksnya selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, Al-Quran selalu membuka diri untuk di analisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode tafsir diajukan sebagi jalan untuk membedah makna terdalam dari Al-Quran itu. Sehingga Al-Quran seolah menantang dirinya untuk dibedah. 
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.      Apa Pengertian Metode Tafsir ?
2.      Bagaimana Sejarah Perkembangan Metode Tafsir ?
3.      Bagaimana Corak dan Metode Tafsir Menurut Quraish Shihab ?
4.      Bagaimana Tafsir Dalam Era Globalisasi sekarang ini ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Metode Tafsir
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani yaitu “methodos” yang berarti “cara atau jalan”. Di dalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.[1]
Sedangkan tafsir diambil drai kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian, Al-jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah al-kasyf wa al-izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.[2] Pengertian ini pulalah yang diistilahkan oleh para ulama tafsir dengan “al-idhah wa al-tabyin” (menjelaskan dan menerangkan). Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tafsir diartikan dengan “keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an.[3] Tafsir menurut istilah, sebagaimana yang didefinisikan abu hayyan ialah: “ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.[4]
Jadi, metode tafsir al-qur’an adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai penjelasan atau pemahaman yang benar tentang ayat-ayat Al-Qur’an .
B.     Sejarah Perkembangan Metode Tafsir
Pada saat Al-qur’an diturunkan Rasulallah saw berfungsi sebagai pemberi penjelasan, yaitu menjelaskan kepada para sahabat tentang arti serta kandungan-kandungan Al-qur’an khususnya ayat-ayat yang sulit untuk dpahami arti dan maknanya. Kalau pada masa Rasulallah para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khusunya mereka yang mempunyai kemampuan seperti, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, ubay bin ka’ab, dan ibnu mas’ud.[5]
Selain itu, para tokoh tafsir dikalangan sahabat yang disebutkan diatas mempunyai murid-murid dari para tabi’in, khusunya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dikalangan para tabi’in dikota-kota tersebut.
Gabungan dari tiga sumber diatas, yaitu penafsiran Rasul saw, penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in, dikelompokkqn menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma’tsur.[6]
Pada awalnya, penafsiran ayat-ayat al-qur’an oleh para ijtihad masih sangat terbatas.  Namun sejalan dengan perkembangan masyarakat, bertambah besar pula peranan akal dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga bermunculan berbagai kitab tentang penafsiran Al-Qur’an yang beraneka ragam coraknya.
Abdullah Darraz dalam Al-naba’ Al-Azhim mengatakan “Al-Qur’an bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat”.[7]
Pada tahun 1960, para mufasir menafsirkan ayat Al-Qur’an secara ayat demi ayat, sesuai dengan mushhaf. Memang satu masalah didalam Al-Qur’an sering ditemukan secara terpisah dalam beberapa ayat. Contohnya masalah riba, dikemukakan dalam surat al-baqarah, Al-imran, dan Ar-rum, sehingga untuk mengetahui pandangan Al-Quran secara menyeluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda.
Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitaf “Tafsir Al-Qura’an Al-Karim” dengan tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi mebahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.[8] Slenjutnya, metode ini dinamakan dengan metode maudhu’iy.
C.     Corak dan Metode Tafsir
Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam yang paling utama. Al-Qur’an, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang 14 abad sejarah pergerakan umat ini.
M. Quraish Shihab, dalam bukunya “membumikan Al-Qur’an”, membagi tafsir dengan melihat corak dan metodenya menjadi: tafsir yang bercorak ma’tsur dan tafsir yang menggunakan metode penalaran yang terdiri dari metode Tahlily dan  Maudhu’iy.
Berikut, akan dijelaskan metode-metode tafsir dengan mengikuti pola pembagian Quraish Shihab:
1.      Metode atau Corak  Ma’tsur (riwayat)
Corak Ma’tsur yaitu penafsiran yang yang riwayatkan oleh Rasulallah saw, penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran oleh para tabi’in yang digabungkan menjadi satu kelompok.
Metode penafsiran yan digunakan para sahabat Nabi saw pada dasarnya merujuk kepada penggunanaan bahasa dan syair-syair Arab. Misalnya dalam firman Allah: auw ya’khuzahum ‘ala takhawwuf  (QS 16:47). Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa Artinya adalah “pengurangan”. Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-islam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami Al-Qur’an.[9]
Setelah masa sahabat pun, para tabi’in dan atba’ at-tabi’in, masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya.
Adapun keistimewaan metode ini antara lain:[10]
a.       Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-qur’an
b.      Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
c.       Mengikat tafsir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.
Disisi lain, kelemahan dari metode ini adalah:[11]
a.       Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok Al-Qur’an menjadi kabur dicelah uraian itu.
b.      Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/manshuk) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
Namun, cukup beralasan jika generasi yang dulu mengandalkan periwayatan dalam menafsiran al-quran. Karena ketika itu masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi’in masih cukup dekat dan laju perubahan social dan perkembangan ilmu belum sepesat masa kini, sehingga tidak terlalu jauh jarak antara mereka. Disamping itu, penghormatan terhadap sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula terhadap tabi’in sebagai generasi tingkat ke dua Khair Al Kurun (sebaik-baik generasi), masih sangat berkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain pengakuan akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikutnya masih cukup kuat.
2.      Metode Penalaran: pendekatan dan corak-coraknya
a.       Metode tahliliy
Metode tahliliy adalah satu metode tafsir yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al qu’an sebagai mana tercantum didalam mushaf.  Bermula dari arti kosakata, asbab an-nuzul, munasabah, dan yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. [12]
Merujuk kepada pengertian diatas, metode tahaliliy merupakan suatu metode yang menafsirkan atau menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-qur’an dari segala aspeknya. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata, kemudian diikuti dengan arti ayat secara global. Selain itu, penafsir juga mengemukakan munasabah (kolerasi) ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat tersebut satu sama lain serta asbab al-nuzulnya.
Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Quran dengan metode tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Quran. Terlepas dari benar tidaknya pendapat ini, namun yang jelas, kemukjizatan Al-Quran tidak ditujukan kecuali kepada mereka yang tidak percaya. Ia tidak ditujukan kepada umat Islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan rumusan definisi mukjizat dimana terkandung di dalamnya unsur tahaddiy (tantangan), sedangkan seorang Muslim tidak perlu ditantang karena dengan keislamannya ia telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Quran yang selalu dimulai dengan kalimat "Inkuntum fi raib" atau "Inkuntum shadiqin".[13]
Para penafsir yang menggunakan metode itu tidak jarang hanya berusaha menemukan pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai "mengikat" generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoretis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Quran untuk setiap waktu dan tempat.
b.      Metode Mawdhu'iy
Metode tafsir maudhu’iy disebut juga dengan metode tafsir tematik yaitu menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama, baik dalam arti maupun dalam topic masalahnya dan menyusun berdasarkan kronologi serta asbab al-nuzul ayat, serta membahas surat demi surat.
Metode Mawdhu'iy mempunyai dua pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.[14]
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.[15]
"Istanthiq Al-Quran" ("Ajaklah Al-Quran berbicara" atau "Biarkan ia menguraikan maksudnya") - konon itu pesan Ali ibn Abi Thalib.[16]
Pesan ini, antara lain mengharuskan penafsir untuk merujuk kepada Al-Quran dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahir metode mawdhu'iy di mana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Quran dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

D.    Tafsir Dalam Era Globalisasi
Dr. Abdul Aziz Kamil, mantan Menteri Waqaf dan Urusan Al-Azhar Mesir, dalam bukunya Al-Islam wa Al-Mustaqbal menyinggung tentang hal-hal yang menjadi penekanan sementara penulis Islam baik Muslim maupun non-Muslim tentang apa yang dinamai "Al-Islam Al-Iqlimiy". Hal itu berarti bahwa setiap wilayah (kawasan atau lokasi) mengambil corak dan bentuk yang berbeda dengan lainnya, akibat perbedaan agama dan peradaban yang pernah hidup dan dianut oleh penduduk kawasan tersebut, sehingga pemahamannya terhadap Islam dipengaruhi sedikit atau banyak dengan budaya setempat.
Kalau pendapat di atas dapat diterima, itu berarti bahwa Islam Indonesia dapat berbeda dengan Islam di negara-negara lain, akibat perbedaan budaya dan peradaban.
Dari satu sisi, apa yang ditekankan di atas ada benarnya dan dapat diperkuat dengan kenyataan yang berkaitan dengan Al-Quran yang diyakini sebagai berdialog dengan seluruh manusia sepanjang masa. Dan tentunya, pemahaman manusia akan banyak dipengaruhi oleh budaya dan perkembangan masyarakatnya. Bahkan lebih jauh dari itu, dalam Al-Quran sendiri terdapat perbedaan-perbedaan, akibat perbedaan masyarakat yang ditemuinya. Hal ini dapat dirasakan dari adanya apa yang dinamai Al-Ahruf Al-Sab'ah yang oleh sementara ulama dipahami sebagai adanya perbedaan bahasa atau dialek yang dibenarkan Allah akibat kesulitan-kesulitan masyarakat (suku) tertentu dalam membacanya bila hanya terbatas dalam satu bahasa (dialek) saja. Demikian juga halnya dengan perbedaan qira'at yang dikenal luas dewasa ini.
Namun demikian, tidaklah wajar untuk menonjolkan segi-segi perbedaan tersebut, yang pada akhirnya menciptakan tafsir Al-Quran ala Indonesia, Mesir, atau kawasan lain. Ketidakwajaran ini bukan saja disebabkan oleh adanya sekian banyak persamaan dalam bidang pandangan hidup umat Islam (akidah, syari'ah, dan akhlak) yang tentunya harus mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka sehingga dapat melahirkan persamaan pandangan dalam banyak bidang. Tetapi juga, dan yang tidak kurang pentingnya, adalah karena kita semua hidup dalam era informasi dan globalisasi yang menjadikan dunia kita semakin menyempit dan penduduknya saling mempengaruhi. [17]
1.      Asbab Al-Nuzul[18]
Al-Quran tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Sekian banyak ayatnya oleh ulama harus dipahami dalam konteks sebab nuzul-nya. Hal ini berarti bahwa arti "sebab" dalam rumusan di atas, tetapi paling tidak ia menggambarkan bahwa ayat yang turun itu berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa "kenyataan" tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan dengan keberadaan ayat yang turun di atas bumi itu.
Seperti diketahui setiap asbab al-nuzul mencakup: (a) peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu. Tidak mungkin benak akan mampu menggambarkan adanya suatu peristiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa pelaku.
Selama ini pandangan menyangkut asbab al-nuzul dan pemahaman ayat seringkali hanya menekankan kepada peristiwanya dan mengabaikan "waktu" terjadinya (setelah terlebih dahulu mengabaikan pelakunya) berdasarkan kaidah yang dianut oleh mayoritas tersebut.
Pengertian asbab al-nuzul dengan demikian dapat diperluas sehingga mencakup kondisi sosial pada masa turunnya Al-Quran dan pemahamannya pun dapat dikembangkan melalui kaidah yang pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu, dengan mengembangkan pengertian qiyas.




2.      Ta'wil[19]
Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran tidak jarang menimbulkan problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah, atau keagamaan.
Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan bahwa "Allahu a'lam bi muradihi" (Allah yang mengetahui maksud-Nya). Tetapi, ini tentunya tidak memuaskan banyak pihak, apalagi dewasa ini. Karena itu, sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dan para mufasir akhirnya beralih pandangan dengan jalan menggunakan ta'wil, tamsil, atau metafora. Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda dengan pen-ta'wil-an yang memperluas makna sekaligus tidak menyimpang darinya.
Al-Jahiz (w. 225 H/868 M), seorang ulama beraliran rasional dalam bidang teologi, dinilai sebagai tokoh pertama dalam bidang penafsiran metaforis. Ia tampil dengan gigih memperkenalkan makna-makna metaforis pada ayat-ayat Al-Quran. Dan, dalam hal ini, harus diakui bahwa dia telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat mengagumkan, sehingga mampu menyelesaikan sekian banyak problem pemahaman keagamaan atau ganjalan-ganjalan yang sebelumnya dihadapi itu.
Tokoh lain dalam bidang ini adalah murid Al-Jahiz, yakni Ibnu Qutaibah (w. 276 H/889 M). Tokoh ini bukanlah penganut aliran rasional (Mu'tazilah) dan bahkan dinilai sebagai "juru bicara Ahl Al-Sunnah". Namun, dia menempuh cara-cara gurunya dan mengembangkannya dalam rangka memahami teks-teks keagamaan.
Tentunya kita tidak dapat menggunakan ta'wil tanpa didukung oleh syarat-syarat tertentu. Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi pen-ta'wil-an ayat-ayat Al-Quran:
a.       Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.
b.       Arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.
Dalam syarat Al-Syathibi di atas, terbaca bahwa popularitas arti kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan lebih jauh Al-Syathibi menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigus/musytarak (mempunyai lebih dari satu makna) yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks tersebut selama tidak bertentangan satu dengan lainnya.
Aliran tafsir Muhammad 'Abduh mengembangkan lagi syarat pen-ta'wil-an, sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan makna penta'wil-an dengan kata yang di-ta'wil-kan. Karena itu, kata Jin yang berarti "sesuatu yang tertutup", diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha sebagai kuman yang tertutup (tidak terlihat oleh pandangan mata). Pendapat ini mirip dengan pendapat Bint Al-Syathi' yang secara tegas menyatakan bahwa "Pengertian kata Jin tidak harus dipahami terbatas pada apa yang biasa dipahami tentang makhluk-makhluk halus yang 'tampak' pada saat ketakutan seseorang di waktu malam atau dalam ilusinya. Tetapi, pengertiannya dapat mencakup segala jenis yang bukan manusia yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat, tidak terjangkau, dan yang berada di luar alam manusia di mana kita berada.
Ta'wil, sebagaimana dikemukakan di atas, akan sangat membantu dalam memahami dan membumikan Al-Quran di tengah kehidupan modern dewasa ini dan masa-masa yang akan datang.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Metode tafsir al-qur’an adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai penjelasan atau pemahaman yang benar tentang ayat-ayat Al-Qur’an . M. Quraish Shihab, dalam bukunya “membumikan Al-Qur’an”, membagi tafsir dengan melihat corak dan metodenya menjadi: tafsir yang bercorak ma’tsur dan tafsir yang menggunakan metode penalaran yang terdiri dari metode Tahlily dan  Maudhu’iy.
Corak Ma’tsur yaitu penafsiran yang yang riwayatkan oleh Rasulallah sa, penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsit tabi’in yang digabungkan menjadi satu kelompok. Sedangkan Metode tahliliy adalah satu metode tafsir yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al qu’an sebagai mana tercantum didalam mushaf. Metode tafsir maudhu’iy yaitu menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama, baik dalam arti maupun dalam topic masalahnya dan menyusun berdasarkan kronologi serta asbab al-nuzul ayat, serta membahas surat demi surat.




DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan. 2008.  Ilmu Tafsir. Bandung: pustaka setia
Baidan, Nashruddin. 2002. Metode Penafsiran Al-Qur’an,. Yogyakata: Pustaka Pelajar
Muhsinhar.staff.umy.ac.id/metode-tafsir-al-quran/
Shihab, Quraish. 1994. Membumikan Alquran: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: mizan


[1] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakata: Pustaka Pelajar, 2002). Hal:54
[2] Rosihan anwar, Ilmu Tafsir. (Bandung: pustaka setia, 2008). Hal:141
[3] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakata: Pustaka Pelajar, 2002). Hal:39-40
[4] Muhsinhar.staff.umy.ac.id/metode-tafsir-al-quran/ diakses pada tanggal 06 April 2015, pukul 20:21 WITA
[5] Quraish shihab, Membumikan Alquran: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: mizan, 1994). Hal: 71
[6] Ibid.,
[7] Ibid., hal: 72
[8] Ibid., 74
[9] Ibid., hal: 83
[10] Ibid., hal:84
[11] Ibid.,
[12] Ibid., hal: 86
[13] Ibid.,
[14] Ibid., hal:74
[15] Ibid.,
[16] Ibid., hal:87
[17] Ibid., hal: 88
[18] Ibid.,  hal: 89-90
[19] Ibid., hal: 90-91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar