BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al-Qur’an
diyakini sebagai firman-firman Allah dan merupakan petunjuk mengenai apa yang
dikehendaki-Nya. Jika manusia ingin menyesuaikan sikap dan perbuatannya dengan
apa yang dikehendaki oleh Allah SWT, demi meraih kebahagiaan akhirat, tentu
harus memahami maksud dari petunjuk-petunjuk tersebut. Upaya untuk memahami
firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia itulah yang disebut dengan
tafsir.
Lahirnya
metode-metode tafsir disebabkan oleh tuntutan perubahan social yang dinamik.
Dinamika perubahan social mengisyaratkan kebutuhan pemahaman yang kompleks.
Sehingga pemahaman atas Al-Quran itulah yang mengakibatkan, tidak boleh tidak,
para mufasir harus menjelaskan pengertian ayat-ayat Al-Quran yang berbeda-beda.
Al-quran
secara tekstual memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teksnya selalu
berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, Al-Quran
selalu membuka diri untuk di analisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan dengan
berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode
tafsir diajukan sebagi jalan untuk membedah makna terdalam dari Al-Quran itu.
Sehingga Al-Quran seolah menantang dirinya untuk dibedah.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.
Apa Pengertian
Metode Tafsir ?
2.
Bagaimana
Sejarah Perkembangan Metode Tafsir ?
3.
Bagaimana Corak
dan Metode Tafsir Menurut Quraish Shihab ?
4.
Bagaimana Tafsir
Dalam Era Globalisasi sekarang ini ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Metode Tafsir
Kata
“metode” berasal dari bahasa Yunani yaitu “methodos” yang berarti “cara
atau jalan”. Di dalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut
mengandung arti: “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.[1]
Sedangkan
tafsir diambil drai kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti
keterangan atau uraian, Al-jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut
pengertian bahasa adalah al-kasyf wa al-izhar yang artinya menyingkap
(membuka) dan melahirkan.[2]
Pengertian ini pulalah yang diistilahkan oleh para ulama tafsir dengan “al-idhah
wa al-tabyin” (menjelaskan dan menerangkan). Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata tafsir diartikan dengan “keterangan atau penjelasan tentang
ayat-ayat Al-Qur’an.[3]
Tafsir menurut istilah, sebagaimana yang didefinisikan abu hayyan ialah: “ilmu
yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh al-Qur’an, tentang
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika
tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta
hal-hal lain yang melengkapinya.[4]
Jadi,
metode tafsir al-qur’an adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik
untuk mencapai penjelasan atau pemahaman yang benar tentang ayat-ayat Al-Qur’an
.
B.
Sejarah
Perkembangan Metode Tafsir
Pada
saat Al-qur’an diturunkan Rasulallah saw berfungsi sebagai pemberi penjelasan,
yaitu menjelaskan kepada para sahabat tentang arti serta kandungan-kandungan
Al-qur’an khususnya ayat-ayat yang sulit untuk dpahami arti dan maknanya. Kalau
pada masa Rasulallah para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak
jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad,
khusunya mereka yang mempunyai kemampuan seperti, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Abbas, ubay bin ka’ab, dan ibnu mas’ud.[5]
Selain
itu, para tokoh tafsir dikalangan sahabat yang disebutkan diatas mempunyai
murid-murid dari para tabi’in, khusunya di kota-kota tempat mereka tinggal.
Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dikalangan para tabi’in dikota-kota
tersebut.
Gabungan
dari tiga sumber diatas, yaitu penafsiran Rasul saw, penafsiran
sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in, dikelompokkqn menjadi satu kelompok
yang dinamai Tafsir bi Al-Ma’tsur.[6]
Pada
awalnya, penafsiran ayat-ayat al-qur’an oleh para ijtihad masih sangat
terbatas. Namun sejalan dengan
perkembangan masyarakat, bertambah besar pula peranan akal dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga bermunculan berbagai kitab tentang penafsiran
Al-Qur’an yang beraneka ragam coraknya.
Abdullah
Darraz dalam Al-naba’ Al-Azhim mengatakan “Al-Qur’an bagaikan intan yang
setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari
sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain
memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat”.[7]
Pada tahun 1960, para mufasir
menafsirkan ayat Al-Qur’an secara ayat demi ayat, sesuai dengan mushhaf.
Memang satu masalah didalam Al-Qur’an sering ditemukan secara terpisah dalam
beberapa ayat. Contohnya masalah riba, dikemukakan dalam surat al-baqarah,
Al-imran, dan Ar-rum, sehingga untuk mengetahui pandangan Al-Quran secara
menyeluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat
yang berbeda.
Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitaf “Tafsir
Al-Qura’an Al-Karim” dengan tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi
mebahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat,
kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat
tersebut.[8]
Slenjutnya, metode ini dinamakan dengan metode maudhu’iy.
C.
Corak dan Metode
Tafsir
Al-Qur’an adalah sumber ajaran
Islam yang paling utama. Al-Qur’an, menempati posisi sentral, bukan saja dalam
perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan
inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang 14 abad
sejarah pergerakan umat ini.
M. Quraish Shihab, dalam
bukunya “membumikan Al-Qur’an”, membagi tafsir dengan melihat corak dan
metodenya menjadi: tafsir yang bercorak ma’tsur dan tafsir yang
menggunakan metode penalaran yang terdiri dari metode Tahlily dan Maudhu’iy.
Berikut, akan dijelaskan
metode-metode tafsir dengan mengikuti pola pembagian M.Quraish Shihab:
1. Metode atau Corak Ma’tsur (riwayat)
Corak Ma’tsur yaitu
penafsiran yang yang riwayatkan oleh Rasulallah saw, penafsiran
sahabat-sahabat, serta penafsiran oleh para tabi’in yang digabungkan
menjadi satu kelompok.
Metode penafsiran yan
digunakan para sahabat Nabi saw pada dasarnya merujuk kepada penggunanaan
bahasa dan syair-syair Arab. Misalnya dalam firman Allah: auw ya’khuzahum
‘ala takhawwuf (QS 16:47). Seorang
Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa Artinya adalah “pengurangan”. Arti
ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-islam. Umar
ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam
rangka memahami Al-Qur’an.[9]
Setelah masa sahabat pun, para
tabi’in dan atba’ at-tabi’in, masih mengandalkan metode
periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya.
Adapun keistimewaan metode ini
antara lain:[10]
a. Menekankan pentingnya bahasa
dalam memahami Al-qur’an
b. Memaparkan ketelitian redaksi
ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
c. Mengikat tafsir dalam bingkai
teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas
berlebihan.
Disisi lain, kelemahan dari
metode ini adalah:[11]
a. Terjerumusnya sang mufasir dalam
uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok
Al-Qur’an menjadi kabur dicelah uraian itu.
b. Seringkali konteks turunnya ayat
(uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum
yang dipahami dari uraian nasikh/manshuk) hampir dapat dikatakan
terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam
satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
Namun, cukup beralasan jika
generasi yang dulu mengandalkan periwayatan dalam menafsiran al-quran. Karena
ketika itu masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi’in
masih cukup dekat dan laju perubahan social dan perkembangan ilmu belum sepesat
masa kini, sehingga tidak terlalu jauh jarak antara mereka. Disamping itu,
penghormatan terhadap sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid nabi
dan orang-orang berjasa, dan demikian pula terhadap tabi’in sebagai generasi
tingkat ke dua Khair Al Kurun (sebaik-baik generasi), masih sangat berkesan
dalam jiwa mereka. Dengan kata lain pengakuan akan keistimewaan generasi
terdahulu atas generasi berikutnya masih cukup kuat.
2. Metode Penalaran: pendekatan dan
corak-coraknya
a. Metode tahliliy
Metode tahliliy adalah satu
metode tafsir yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al
qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al qu’an
sebagai mana tercantum didalam mushaf.
Bermula dari arti kosakata, asbab an-nuzul, munasabah, dan yang
berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. [12]
Merujuk kepada pengertian
diatas, metode tahaliliy merupakan suatu metode yang menafsirkan atau
menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-qur’an dari segala aspeknya. Penafsir
memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata, kemudian diikuti dengan
arti ayat secara global. Selain itu, penafsir juga mengemukakan munasabah
(kolerasi) ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat tersebut satu sama lain
serta asbab al-nuzulnya.
Pemikir Aljazair
kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan
Al-Quran dengan metode tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya
mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan
Al-Quran. Terlepas dari benar
tidaknya pendapat ini, namun yang jelas, kemukjizatan Al-Quran tidak ditujukan
kecuali kepada mereka yang tidak percaya. Ia tidak ditujukan kepada umat Islam.
Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan rumusan definisi mukjizat dimana terkandung di dalamnya unsur tahaddiy
(tantangan), sedangkan seorang Muslim tidak perlu ditantang karena dengan
keislamannya ia telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat
yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Quran yang selalu dimulai dengan
kalimat "Inkuntum fi raib" atau "Inkuntum
shadiqin".[13]
Para penafsir yang menggunakan metode itu tidak jarang hanya
berusaha menemukan pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran. Selain
itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar
metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang
menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari adalah bahwa
bahasan-bahasannya dirasakan sebagai "mengikat" generasi berikut. Hal
ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu
kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat
mereka, sehingga uraian yang bersifat teoretis dan umum itu mengesankan bahwa
itulah pandangan Al-Quran untuk setiap waktu dan tempat.
b.
Metode Mawdhu'iy
Metode tafsir maudhu’iy disebut juga dengan metode
tafsir tematik yaitu menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai maksud yang
sama, baik dalam arti maupun dalam topic masalahnya dan menyusun berdasarkan
kronologi serta asbab al-nuzul ayat, serta membahas surat demi surat.
Metode Mawdhu'iy mempunyai
dua pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran
dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema
sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam
surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut,
sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan.[14]
Kedua, penafsiran
yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah
tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut
sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari
ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang
dibahas itu.[15]
"Istanthiq Al-Quran" ("Ajaklah Al-Quran
berbicara" atau "Biarkan ia menguraikan maksudnya") - konon itu
pesan Ali ibn Abi Thalib.[16]
Pesan ini, antara lain
mengharuskan penafsir untuk merujuk kepada Al-Quran dalam rangka memahami
kandungannya. Dari sini lahir metode mawdhu'iy di mana mufasirnya berupaya
menghimpun ayat-ayat Al-Quran dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan
persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas
dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan
yang utuh.
D.
Tafsir
Dalam Era Globalisasi
Dr. Abdul Aziz Kamil, mantan Menteri Waqaf dan Urusan
Al-Azhar Mesir, dalam bukunya Al-Islam wa Al-Mustaqbal menyinggung tentang
hal-hal yang menjadi penekanan sementara penulis Islam baik Muslim maupun
non-Muslim tentang apa yang dinamai "Al-Islam Al-Iqlimiy". Hal itu
berarti bahwa setiap wilayah (kawasan atau lokasi) mengambil corak dan bentuk
yang berbeda dengan lainnya, akibat perbedaan agama dan peradaban yang pernah
hidup dan dianut oleh penduduk kawasan tersebut, sehingga pemahamannya terhadap
Islam dipengaruhi sedikit atau banyak dengan budaya setempat.
Kalau pendapat di atas dapat diterima, itu berarti bahwa
Islam Indonesia dapat berbeda dengan Islam di negara-negara lain, akibat
perbedaan budaya dan peradaban.
Dari satu sisi, apa yang ditekankan di atas ada benarnya dan
dapat diperkuat dengan kenyataan yang berkaitan dengan Al-Quran yang diyakini
sebagai berdialog dengan seluruh manusia sepanjang masa. Dan tentunya,
pemahaman manusia akan banyak dipengaruhi oleh budaya dan perkembangan
masyarakatnya. Bahkan lebih jauh dari itu, dalam Al-Quran sendiri terdapat
perbedaan-perbedaan, akibat perbedaan masyarakat yang ditemuinya. Hal ini dapat
dirasakan dari adanya apa yang dinamai Al-Ahruf Al-Sab'ah yang oleh sementara
ulama dipahami sebagai adanya perbedaan bahasa atau dialek yang dibenarkan
Allah akibat kesulitan-kesulitan masyarakat (suku) tertentu dalam membacanya
bila hanya terbatas dalam satu bahasa (dialek) saja. Demikian juga halnya
dengan perbedaan qira'at yang dikenal luas dewasa ini.
Namun demikian, tidaklah wajar untuk menonjolkan segi-segi
perbedaan tersebut, yang pada akhirnya menciptakan tafsir Al-Quran ala
Indonesia, Mesir, atau kawasan lain. Ketidakwajaran ini bukan saja disebabkan
oleh adanya sekian banyak persamaan dalam bidang pandangan hidup umat Islam
(akidah, syari'ah, dan akhlak) yang tentunya harus mempengaruhi
pemikiran-pemikiran mereka sehingga dapat melahirkan persamaan pandangan dalam
banyak bidang. Tetapi juga, dan yang tidak kurang pentingnya, adalah karena
kita semua hidup dalam era informasi dan globalisasi yang menjadikan dunia kita
semakin menyempit dan penduduknya saling mempengaruhi. [17]
1.
Asbab Al-Nuzul[18]
Al-Quran tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa budaya.
Sekian banyak ayatnya oleh ulama harus dipahami dalam konteks sebab nuzul-nya.
Hal ini berarti bahwa arti "sebab" dalam rumusan di atas, tetapi
paling tidak ia menggambarkan bahwa ayat yang turun itu berinteraksi dengan
kenyataan yang ada dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa
"kenyataan" tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan dengan
keberadaan ayat yang turun di atas bumi itu.
Seperti diketahui setiap asbab al-nuzul mencakup: (a)
peristiwa, (b) pelaku, dan (c) waktu. Tidak mungkin benak akan mampu
menggambarkan adanya suatu peristiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu
tertentu dan tanpa pelaku.
Selama ini pandangan menyangkut asbab al-nuzul dan pemahaman
ayat seringkali hanya menekankan kepada peristiwanya dan mengabaikan
"waktu" terjadinya (setelah terlebih dahulu mengabaikan pelakunya) berdasarkan
kaidah yang dianut oleh mayoritas tersebut.
Pengertian asbab al-nuzul dengan demikian dapat diperluas
sehingga mencakup kondisi sosial pada masa turunnya Al-Quran dan pemahamannya
pun dapat dikembangkan melalui kaidah yang pernah dicetuskan oleh ulama
terdahulu, dengan mengembangkan pengertian qiyas.
2.
Ta'wil[19]
Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran tidak jarang
menimbulkan problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika
pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah, atau
keagamaan.
Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan bahwa
"Allahu a'lam bi muradihi" (Allah yang mengetahui maksud-Nya).
Tetapi, ini tentunya tidak memuaskan banyak pihak, apalagi dewasa ini. Karena
itu, sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dan para mufasir akhirnya
beralih pandangan dengan jalan menggunakan ta'wil, tamsil, atau metafora.
Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda dengan pen-ta'wil-an
yang memperluas makna sekaligus tidak menyimpang darinya.
Al-Jahiz (w. 225 H/868 M), seorang ulama beraliran rasional
dalam bidang teologi, dinilai sebagai tokoh pertama dalam bidang penafsiran
metaforis. Ia tampil dengan gigih memperkenalkan makna-makna metaforis pada
ayat-ayat Al-Quran. Dan, dalam hal ini, harus diakui bahwa dia telah
menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat mengagumkan, sehingga mampu
menyelesaikan sekian banyak problem pemahaman keagamaan atau ganjalan-ganjalan
yang sebelumnya dihadapi itu.
Tokoh lain dalam bidang ini adalah murid Al-Jahiz, yakni Ibnu
Qutaibah (w. 276 H/889 M). Tokoh ini bukanlah penganut aliran rasional
(Mu'tazilah) dan bahkan dinilai sebagai "juru bicara Ahl Al-Sunnah". Namun,
dia menempuh cara-cara gurunya dan mengembangkannya dalam rangka memahami
teks-teks keagamaan.
Tentunya kita tidak dapat menggunakan ta'wil tanpa didukung
oleh syarat-syarat tertentu. Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi
pen-ta'wil-an ayat-ayat Al-Quran:
a.
Makna yang dipilih sesuai dengan
hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.
b.
Arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab
klasik.
Dalam syarat Al-Syathibi di atas, terbaca bahwa popularitas
arti kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan lebih jauh Al-Syathibi menegaskan
bahwa kata-kata yang bersifat ambigus/musytarak (mempunyai lebih dari satu
makna) yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks tersebut
selama tidak bertentangan satu dengan lainnya.
Aliran tafsir Muhammad 'Abduh mengembangkan lagi syarat
pen-ta'wil-an, sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan faktor
kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan makna penta'wil-an dengan kata yang
di-ta'wil-kan. Karena itu, kata Jin yang berarti "sesuatu yang
tertutup", diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha sebagai kuman yang
tertutup (tidak terlihat oleh pandangan mata). Pendapat ini mirip dengan
pendapat Bint Al-Syathi' yang secara tegas menyatakan bahwa "Pengertian
kata Jin tidak harus dipahami terbatas pada apa yang biasa dipahami tentang
makhluk-makhluk halus yang 'tampak' pada saat ketakutan seseorang di waktu malam
atau dalam ilusinya. Tetapi, pengertiannya dapat mencakup segala jenis yang
bukan manusia yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat, tidak terjangkau,
dan yang berada di luar alam manusia di mana kita berada.
Ta'wil, sebagaimana dikemukakan di atas, akan sangat membantu
dalam memahami dan membumikan Al-Quran di tengah kehidupan modern dewasa ini
dan masa-masa yang akan datang.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metode tafsir al-qur’an adalah suatu cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai penjelasan atau pemahaman yang benar tentang
ayat-ayat Al-Qur’an . M. Quraish Shihab, dalam
bukunya “membumikan Al-Qur’an”, membagi tafsir dengan melihat corak dan
metodenya menjadi: tafsir yang bercorak ma’tsur dan tafsir yang
menggunakan metode penalaran yang terdiri dari metode Tahlily dan Maudhu’iy.
Corak Ma’tsur yaitu
penafsiran yang yang riwayatkan oleh Rasulallah sa, penafsiran sahabat-sahabat,
serta penafsit tabi’in yang digabungkan menjadi satu kelompok. Sedangkan
Metode tahliliy adalah satu metode tafsir yang mufasirnya berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat al qur’an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat al qu’an sebagai mana tercantum didalam
mushaf. Metode tafsir maudhu’iy yaitu menghimpun ayat-ayat
Al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama, baik dalam arti maupun dalam topic
masalahnya dan menyusun berdasarkan kronologi serta asbab al-nuzul ayat, serta
membahas surat demi surat.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar,
Rosihan. 2008. Ilmu Tafsir. Bandung:
pustaka setia
Baidan, Nashruddin. 2002. Metode
Penafsiran Al-Qur’an,. Yogyakata: Pustaka Pelajar
Muhsinhar.staff.umy.ac.id/metode-tafsir-al-quran/
Shihab, Quraish. 1994. Membumikan Alquran: Fungsi Dan
Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: mizan
[1] Nashruddin Baidan, Metode
Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakata: Pustaka Pelajar, 2002). Hal:54
[2] Rosihan anwar, Ilmu Tafsir. (Bandung:
pustaka setia, 2008). Hal:141
[3] Nashruddin Baidan, Metode
Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakata: Pustaka Pelajar, 2002). Hal:39-40
[4] Muhsinhar.staff.umy.ac.id/metode-tafsir-al-quran/
diakses pada tanggal 06 April 2015, pukul 20:21 WITA
[5] Quraish shihab, Membumikan
Alquran: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung:
mizan, 1994). Hal: 71
[6] Ibid.,
[7] Ibid., hal: 72
[8]
Ibid., 74
[9] Ibid., hal: 83
[10] Ibid., hal:84
[11] Ibid.,
[12] Ibid., hal: 86
[13] Ibid.,
[14] Ibid., hal:74
[15] Ibid.,
[16] Ibid., hal:87
[17] Ibid., hal: 88
[18]
Ibid., hal: 89-90
[19]
Ibid., hal: 90-91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar