Blogger Widgets

IsdiQLia

Jumat, 14 November 2014

Hadist



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
           “Shalat adalah mi’ rajnya orang beriman”, demikian sabda Rasul saw. Alangkah agung makna sabda tersebut bagi para pecinta. Dalam setiap shalatnya, seorang pecinta akan bercengkerama dengan Zat yang dicintainya. Sehingga tidaklah heran apabila banyak riwayat yang menyebutkan bahwa baginda Rasul saw dan para syi’ahnya selalu menanti-nantikan tibanya waktu pelaksanaan shalat.
 Tujuan utama dari pelaksanaan ibadah shalat adalah mendekatkan dan selalu mengingatkan manusia kepada Tuhannya. Dengan begitu, mereka tidak akan sampai terjerumus dalam lembah kenistaan. Inilah intisari dari uraian yang akan disampaikan Imam Ali Khamenei dalam bukunya yang amat berharga ini.
Dengan cara yang memukau, beliau memaparkan tentang makna sebenarnya dari ibadah shalat dan apa pengaruh positifnya; selain pula padat, gamlang, namun kaya makna ini, memudahkan siapapun untuk memahaminya. Semoga Allah swt memberikan inayah kepada kita semua sehingga memiliki kesanggupan untuk mencerna dengan baik apa yang diinginkan penulis dengan uraiannya tentang shalat.
mengemukakan tentang apa saja yang harus dipersiapkan seseorang yang hendak shalat. Uraian beliau yang begitu
a.      Rumusan Masalah
1.      Apa  makna shalat ?
2.      Apa fungsi dan manfaat shalat bagi individu dan kolektif?
b.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui makna shalat
2.      Untuk mengetahui fungsi dan manfaat shalat bagi individu dan kolektif
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Makna sholat
Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab  Suci  dan  Hadits Nabi,   dapatlah   dikatakan bahwa  shalat  adalah  kewajiban peribadatan  (formal)  yang  paling   penting   dalam   system keagamaan  Islam.  Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita menegakkan  shalat  (iqamat  al-shalah,  yakni  menjalankannya dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan kaum  beriman  adalah  pertama-tama  karena   shalatnya   yang dilakukan  dengan  penuh kekhusyukan.
Sebuah hadits Nabi saw.  menegaskan,  "Yang  pertama  kali  akan diperhitungkan tentang  seorang  hamba  pada  hari  Kiamat ialah shalat: jika baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak,  maka rusak  pulalah  seluruh  amalnya." Dan sabda beliau lagi, "Pangkal segala perkara ialah al-Islam  (sikap  pasrah  kepada Allah),  tiang  penyangganya  shalat,  dan puncak tertingginya ialah perjuangan di jalan Allah".[1]
Firman Allah SWT :
وَاَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ.
“Dan dirikanlah sholat, sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Al-Ankabut: 45)
Karena   demikian   banyaknya   penegasan-penegasan    tentang pentingnya  shalat  yang  kita  dapatkan  dalam  sumber-sumber agama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu  sebaik mungkin.  Berdasarkan  berbagai  penegasan  itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau sari pati semua  bahan  ajaran  dan  tujuan  keagamaan.  Dalam shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup kita, yaitu penghambaan diri  ('ibadah)  kepada  Allah,  Tuhan Yang   Maha  Esa,  dan  melalui  shalat  itu  kita  memperoleh pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwashalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsic dan makna instrumental[2], sebagai sarana pendidikan ke arah nilai nilai luhur.
Shalat adalah tiang agama Islam kerna yang membedakan Islamnya seseorang dengan yang lain adalah shalat[3]. Sesuai hadist Rasulullah SAW :

“Pemisah antara seseorang dengan kekufuran serta kesyirikan adalah meninggalkan shalat.”[HR Muslim]

“Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat, barang siapa yang meninggalkannya, ia telah kafir.”
[HR Ahmad, Tirmizi, al-Nasa’i, al-Baihaqi, dan al-Daruquthni]

1.      Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)
Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental, dilambangkan   dalam  keseluruhan  shalat,  baik  dalam  unsur bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara  Ilmu  Fiqih,  shalat dirumuskan  sebagai  "Ibadah  kepada Allah dan pengagungan-Nya dengan  bacaan-bacaan  dan  tindakan-tindakan  tertentu   yang dibuka  dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim (al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan runtutan  dan  tertib  tertentu  yang  diterapkan  oleh  agama Islam."
Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat al-ihram),  yang  mengandung  arti "takbir yang mengharamkan", yakni, mengharamkan segala  tindakan  dan  tingkah  laku  yang tidak  ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap Tuhan.
Takbir pembukaan itu  seakan  suatu  pernyataan  formal seseorang membuka  hubungan  diri dengan Tuhan (habl-un min-a 'l-Lah), dan mengharamkan  atau  memutuskan  diri  dari  semua bentuk  hubungan  dengan  sesama manusia (habl-un min al-nas -"hablum minannas"). Maka makna intrinsik  shalat  diisyaratkan dalam  arti  simbolik  takbir pembukaan itu, yang melambangkan hubungan dengan Allah dan menghambakan diri  kepada-Nya.  Jika disebutkan  bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah agar  mereka  menghamba  kepada-Nya,   maka   wujud   simbolik terpenting  penghambaan  itu  ialah  shalat yang dibuka dengan takbir tersebut, sebagai ucapan  pernyataan  dimulainya  sikap menghadap Allah.
Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah, yang  sebagai  bacaan  inti  dalam  shalat  dengan  sendirinya menjiwai makna shalat itu. Adalah untuk  doa  kita  yang  kita panjatkan  dengan  harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalan yang lurus itu maka pada akhir al-Fatihah kita ucapkan  dengan syahdu  lafal  Amin,  yang  artinya, "Semoga Allah mengabulkan permohonan ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan  sebagai kondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah" kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna  intrinsik  shalat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( إِذَا قُمْتُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ اَلْوُضُوءَ  ثُمَّ اِسْتَقْبِلِ اَلْقِبْلَةَ  فَكَبِّرْ  ثُمَّ اِقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ اَلْقُرْآنِ  ثُمَّ اِرْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا  ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا  ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا  ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا  ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا  ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا  ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا  ثُمَّ اِفْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا )  أَخْرَجَهُ اَلسَّبْعَةُ  وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ وَلِابْنِ مَاجَهْ بِإِسْنَادِ مُسْلِمٍ ( حَتَّى تَطْمَئِنَّ قَائِمًا )
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika engkau hendak mengerjakan shalat maka sempurnakanlah wudlu' lalu bacalah (ayat) al-Quran yang mudah bagimu lalu ruku'lah hingga engkau tenang (tu'maninah dalam ruku' kemudian bangunlah hingga engkau tegak berdiri lalu sujudlah hingga engkau tenang dalam sujud kemudian bangunlah hingga engkau tenang dalam duduk lalu sujudlah hingga engkau tenang dalam sujud. Lakukanlah hal itu dalam dalam sholatmu seluruhnya." Dikeluarkan oleh Imam Tujuh lafadznya menurut riwayat Bukhari. Menurut Ibnu Majah dengan sanad dari Muslim: "Hingga engkau tenang berdiri."

2.      Makna Instrumental Shalat (Arti Simbolik Ucapan Salam)

Shalat   disebut   bermakna  intrinsik  (makna  dalam  dirinya sendiri), karena ia merupakan  tujuan  pada  dirinya  sendiri, khususnya   shalat   sebagai  peristiwa  menghadap  Allah  dan berkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun  melalui tingkah  laku  (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebut bermakna  instrumental,  karena  ia  dapat  dipandang  sebagai sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri. Sesungguhnya  adanya  makna  instrumental  shalat  itu  sangat logis, justru sebagai  konsekuensi  makna  intrinsiknya  juga. Yaitu,  jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan menghayati kehadiran Tuhan  dalam  hidup  kesehariannya,  maka tentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak pada tingkah laku dan pekertinya,  yang  tidak  lain  daripada dampak  kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itu merupakan kebahagiaan tersendiri yang  tak  terlukiskan  dalam kata-kata,  namun  tidak  kurang  pentingnya  ialah perwujudan keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa  perilaku  berbudi pekerti  luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan. Inilah makna  instrumental  shalat,  yang  jika  shalat   itu   tidak menghasilkan  budi  pekerti  luhur maka ia sebagai "instrumen" akan sia-sia belaka. Berkenaan dengan ini, salah  satu  firman  Allah  yang  banyak dikutip  ialah,  "Bacalah  apa  yang  telah  diwahyukan kepada engkau (hai  Muhammad),  yaitu  Kitab  Suci,  dan  tegakkanlah shalat.  Sesungguhnya  shalat itu mencegah dari yang kotor dan keji, dan sungguh  ingat  kepada  Allah  adalah  sangat  agung (pahalanya). Allah   mengetahui   apa   yang  kamu  sekalian kerjakan." Dengan  jelas  firman  itu  menunjukkan  bahwa salah  satu  yang  dituju  oleh  adanya kewajiban shalat ialah bahwa pelakunya  menjadi  tercegah  dari  kemungkinan  berbuat jahat  dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan  melalui shalat.  Karena  itu  jika shalat seseorang tidak mencapai hal yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraan yang  justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertian yang kita dapatkan dari  firman  Allah,  (terjemahnya,  kurang lebih)  "Sudahkah  engkau  lihat orang yang mendustakan agama?
Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak  dengan  tegas menganjurkan   pemberian   makan  kepada  orang  miskin!  Maka celakalah untuk mereka yang  shalat,  yang  lupa  akan  shalat mereka  sendiri.  Yaitu  mereka  yang suka pamrih, lagi enggan memberi  pertolongan."  Jadi,  ditegaskan  bahwa  shalat seharusnya  menghasilkan  rasa  kemanusiaan dan kesetiakawanan sosial, yang dalam firman itu dicontohkan  dalam  sikap  penuh santun  kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkan nasib orang miskin. Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan  budi luhur  dan  perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain  adalah  doa untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak, baik yang ada di depan kita maupun yang tidak,  dan  diucapkan sebagai  pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial. Dengan begitu maka shalat dimulai dengan pernyataan  hubungan  dengan Allah  (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan sesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika  shalat  tidak menghasilkan  ini,  maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan menjadi alasan adanya kutukan  Allah,  karena  dapat  bersifat palsu  dan  menipu.  Dari  situ  kita  dapat memahami kerasnyaperingatan dalam firman itu.[4]
Dalam kaitannya dengan firman itu Muhammad  Mahmud  al-Shawwaf menguraikan  makna  ibadat  demikian: Terdapat berbagai bentuk ibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkan manusia  akan  keinsyafan  tentang  kekuasaan  Ilahi yang Maha Agung, yang merupakan sukma  ibadat  itu  dan  menjadi  hikmah rahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusia yang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak  yang  satu menyerang  yang  lain.  Sebab  semuanya  adalah  hamba  Allah. Betapapun hebat  dan  mulianya  seseorang  namun  Allah  lebih hebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karena manusia  lalai  terhadap  makna-makna  yang  luhur  ini   maka diadakanlah  ibadat  untuk  mengingatkan  mereka.  Oleh karena itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai  dampak  dalam pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya.[5]
Dampak  itu  terjadi  hanyalah  dari  ruh  ibadat tersebut dan keinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan  dan  kesyahduan. Jika  ibadat  tidak  mengandung  hal ini maka tidaklah disebut ibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan  bentuk manusia  dan  patungnya  yang tidak disebut manusia, melainkan sekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata. Shalat adalah ibadat yang paling agung,  dan  suatu  kewajiban yang   ditetapkan   atas   setiap   orang  muslim.  Dan  Allah memerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekedar  menjalaninya saja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak dan  sempurna  karena   kesadaran   akan   tujuannya,   dengan menghasilkan  berbagai  dampak  nyata. Dampak shalat dan hasil tujuannya ialah sesuatu yang  diberitakan  Allah  kepada  kita dengan  firman-Nya,
وَاَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ.
“Dan dirikanlah sholat, sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Al-Ankabut: 45)
dan  firman-Nya  lagi,  "Sesungguhnya manusia  diciptakan  gelisah:  jika  keburukan  menimpanya, ia banyak keluh kesah; dan jika kebaikan  menimpanya,  ia  banyak mencegah  (dari  sedekah). Kecuali mereka yang shalat. Allah memberi peringatan keras kepada  mereka  yang  menjalani shalat  hanya  dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaan tertentu  namun  melupakan  makna  ibadat   itu   dan   hikmah rahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia berupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan  peningkatan budi.  Allah  berfirman,  "Maka  celakalah  untuk  mereka yang shalat, yang lupa akan shalat  mereka  sendiri.  Yaitu  mereka yang  suka  pamrih,  lagi  enggan  memberi  pertolongan. Mereka  itu  dinamakan  "orang  yang  shalat"  karena   mereka mengerjakan  bentuk  lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai lupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan  jiwa yang  jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya, dan   menginsyafkan  hati  akan  kebesaran  kekuasaan-Nya  dan keluhuran kebaikan-Nya. Para ulama membagi riya  atau  pamrih  menjadi  dua.  Pertama, pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat dilihat orang lain guna mendapatkan pujian,  penghargaan  atau persetujuan   mereka.   Kedua  pamrih  adat  kebiasaan,  yaitu perbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun  tanpa memperhatikan  makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta faedahnya, dan  tanpa  perhatian  kepada  Siapa  (Tuhan)  yang sebenarnya  ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya Inilah yang paling banyak dikerjakan orang  sekarang. 
Demikian  penjelasan  yang  diberikan  oleh seorang ahli agama dari Arab,  al-Shawwaf,  tentang  makna  instrumental  shalat. Dalam  Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan: Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya Kecuali golongan yang beruntung (kanan)
Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya, tentang nasib orang-orang yang berdosa:  "Apa yang membawa kamu ke neraka?" Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang shalat, Dan tidak pula kami pernah memberi makan orang-orang melarat Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena. Dan kami dustakan adanya hari pembalasan Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." Maka,  secara  tegas,  yang  membuat  orang-orang  itu  "masuk neraka"   ialah   karena   mereka  tidak  pernah  shalat  yang menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir  hidup ini  dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab sosial  mereka.  Maka  mereka  pun  tidak  pernah   menunaikan tanggung  jawab  sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidup egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya, juga  tidak  pernah  menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun lupa, malah tidak percaya, akan datangnya  saat  mereka  harus mempertanggungjawabkan  seluruh  perbuatan  mereka  pada  hari pembalasan (akhirat). 
Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat  --selain menanamkan  kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita ia juga mendidik dan mendorong kita  untuk  mewujudkan  sebuah ide  atau  cita-cita  yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan  perkenan  Tuhan
melalui  usaha  pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh warga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun paham mengapa  banyak  terdapat penegasan tentang pentingnya shalat, sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan  begitu  keras kepada  orang  yang  melakukan shalat hanya sebagai ritus yang kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang  mendalam  dan komitmen sosial yang meluas.
3.      Fungsi dan manfaat shalat bagi individu dan kolektif
 Dalam  shalat  itu seseorang diharapkan hanya melakukan hubungan  vertikal  dengan  Allah,  dan  tidak   diperkenankan melakukan  hubungan  horizontal dengan sesama makhluk (kecuali dalam  keadaan  terpaksa).  Inilah  ide  dasar  dalam   takbir.
رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( إِذَا قُدِّمَ اَلْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا اَلْمَغْرِبَ )
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Apabila makan malam telah dihidangkan makanlah dahulu sebelum engkau sholat Maghrib.

قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَقْطَعُ صَلَاةَ اَلْمَرْءِ اَلْمُسْلِمِ - إِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ اَلرَّحْلِ - اَلْمَرْأَةُ  وَالْحِمَارُ  وَالْكَلْبُ اَلْأَسْوَدُ  اَلْحَدِيثَ )  وَفِيهِ ( اَلْكَلْبُ اَلْأَسْوَدِ شَيْطَانٌ )
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Yang akan memutuskan sholat seorang muslim bila tidak ada tabir di depannya seperti kayu di bagian belakang kendaraan adalah wanita keledai dan anjing hitam. Di dalam hadits disebutkan: Anjing hitam adalah setan
pembukaan   sebagai   takbirat  al-ihram.  Karena  itu,  dalam literatur kesufian  berbahasa  Jawa,  shalat  atau  sembahyang dipandang  sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup), karena memang  kematian  adalah  panutan  hubungan  horizontal sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari pembalasan"  tanpa  hubungan horizontal seperti   pembelaan, perantaraan, ataupun tolong-menolong. Selanjutnya   dia   yang  sedang  melakukan  shalat  hendaknya menyadari  sedalam-dalamnya  akan  posisinya  sebagai  seorang makhluk   yang   sedang   menghadap  Khaliknya,  dengan  penuh keharuan,  kesyahduan  dan  kekhusyukan.  Sedapat  mungkin  ia menghayati  kehadirannya  di  hadapan  Sang  Maha Pencipta itu sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah  melihat  Khaliknya"; dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai  dengan makna  ihsan  seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits. Karena merupakan peristiwa menghadap  Tuhan,  shalat  juga sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di Sidrat al-Muntaha. Dengan  ihsan  itu orang yang melakukan shalat menemukan salah satu makna yang amat  penting  ibaratnya,  yaitu  penginsyafan diri  akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya: "Dia  (Allah)  itu  beserta  kamu  di manapun kamu berada, dan Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan.
            “Sholat itu Cahaya” Maksudnya, sholat mempunyai cahaya atau menyinari. Sholat itu cahaya dan menyinari wajah pemiliknya (Orang yang melakukan sholat) dalam satu riwayat dikatakan “Barang siapa yang telah mengerjakan shalat pada malam hari niscaya pada siang hari wajahnya bercahaya”. Abu Darda’ mengatakan, “Shalatlah kamu semua pada waktu gelap malam untuk menghilangkan gelapnya kubur”. Shalat itu menyinari hatimu (dengan) cahaya-cahaya makrifat dan memperlihatkan kebenaran-kebenaran. Dengan demikian, orang yang melakukan sholat harus mencurahkan pikirannya dari segala kesibukan dunia dan harus menghadap penuh kepada Allah, sehingga dia diberi anugerah oleh Allah SWT, merasa disaksikan olehnya, merasa dekat kepada-Nya, dan merasa cinta kepada-Nya.[6]
أخبرنا أبو داود قال هارون هو إبن إسمعيل الخزاز قال حدثنا همام عن
 قتادة عن الحسن عن حريث بن قبيصة قال قدمت المدينة قال قلت
 اللهم يسر لي جليسا صالحا فجلست إلى أبي هريرة رضي الله عنه قال
 فقلت إني دعوت الله عز وجل أن ييسرلي جليسا صالحا فحدثني بحديث
 سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم لعل الله أن ينفعني به قال
 سمعت  رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إن أول ما يحاسب به
 العبد بصلاته فإن صلحت فقد أفلح و أنجح وإن فسدت فقد جاب خسر
 قال همام لا أدري هذا من كلام قتادة أو من الرواية فإن انتقص
من فريضته شيء قال انظروا هل لعبدي من تطوع فيكمل به
 ما نقص من الفريضة ثم يكون سائر عمله على نحو ذالك- النسائي
Abu Daud mengabarkan kepada kami, Harun bin Ismail al-Huzaz berkata: Humam menceritakan kepada kami dari Qatadah dari Hasan dari Harits bin Qobishoh berkata aku ------------- ari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya pertama-tama amalan yang seseorang itu dihisab dengannya ialah shalatnya, maka jikalau baik shalatnya itu, sungguh-sungguh berbahagialah dan beruntunglah ia dan jikalau rosak, sungguh-sungguh menyesal dan merugilah ia. jikalau seseorang itu ada kekurangan dari sesuatu amalan wajibnya, maka Tuhan Azzawajalla berfirman: "Periksalah olehmu semua - hai malaikat, apakah hambaKu itu mempunyai amalan yang sunnah." Maka dengan amalan yang sunnah itulah ditutupnya kekurangan amalan wajibnya, kemudian cara memperhitungkan amalan-amalan lainnya itupun seperti cara memperhitungkan amalan shalat ini." An-Nasa’i
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ibadah shalat merupakan ajang bagi seorang pecintauntuk secara langsung berkeluh kesah dan menyampaikan kerinduannya kepada Zat yang dicintainya. Setiap pecinta yang hendak menunaikan shalat akan mempersiapkan betul keadaan dirinya dengan berhias sebaik mungkin. Sebabnya, pada saat itu dirinya akan berjumpa dengan kekasihnya, Allah swt. Ibadah shalat juga merupakan sarana komunikasi antara manusia dengan Allah swt. Bahkan, boleh dibilang sebgai sarana terbaik. Karena itulah, dalam berbagai riwayat, disebutkan bahwa shalat merupakan tonggak agama “Shalat merupakan tiang agama”.
B.     Saran
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan karunia- Nya makalah Hadits  ini dapat kami selesaikan. Kami sadar sesadar sadarnya bahwa makalah ini masih penuh dengan kekurangan kami mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan yang selanjutnya. Mudah mudahan makalah Hadits yang sangat sederhana ini ada manfaatnya di semua kalangan terutama kami kelompok IV (empat) yang mendapat tugas dalam menyelesaikan makalah Hadits ini.






DAFTAR PUSTAKA
            Anonim,”makna sholat dalam kehidupan”dalam www.ismailblogspot.com
            http://media.isnet.org
            Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010)
                   M.tahir efendi “memahami shalat” (pustaka,jakarta, 2007)hal.34


[1] http://media.isnet.org
[2] Ibid

[3] M.tahir efendi “memahami shalat” (pustaka,jakarta, 2007)hal.34
[4] Anonim,”makna sholat dalam kehidupan”dalam www.ismailblogspot.com
[5] Ibid
[6] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar