BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
“Shalat adalah mi’ rajnya orang
beriman”, demikian sabda Rasul saw. Alangkah agung makna sabda tersebut bagi
para pecinta. Dalam setiap shalatnya, seorang pecinta akan bercengkerama dengan
Zat yang dicintainya. Sehingga tidaklah heran apabila banyak riwayat yang
menyebutkan bahwa baginda Rasul saw dan para syi’ahnya selalu menanti-nantikan
tibanya waktu pelaksanaan shalat.
Tujuan utama dari
pelaksanaan ibadah shalat adalah mendekatkan dan selalu mengingatkan manusia
kepada Tuhannya. Dengan begitu, mereka tidak akan sampai terjerumus dalam
lembah kenistaan. Inilah intisari dari uraian yang akan disampaikan Imam Ali
Khamenei dalam bukunya yang amat berharga ini.
Dengan cara
yang memukau, beliau memaparkan tentang makna sebenarnya dari ibadah shalat dan
apa pengaruh positifnya; selain pula padat, gamlang, namun kaya makna ini,
memudahkan siapapun untuk memahaminya. Semoga Allah swt memberikan inayah
kepada kita semua sehingga memiliki kesanggupan untuk mencerna dengan baik apa
yang diinginkan penulis dengan uraiannya tentang shalat.
mengemukakan
tentang apa saja yang harus dipersiapkan seseorang yang hendak shalat. Uraian
beliau yang begitu
a.
Rumusan Masalah
1.
Apa makna shalat ?
2.
Apa fungsi dan manfaat shalat bagi individu dan kolektif?
b.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui makna shalat
2.
Untuk mengetahui fungsi dan manfaat shalat bagi individu dan
kolektif
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Makna sholat
Berdasarkan
berbagai keterangan dalam Kitab
Suci dan Hadits Nabi,
dapatlah dikatakan bahwa shalat
adalah kewajiban peribadatan (formal)
yang paling penting
dalam system keagamaan Islam.
Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita menegakkan shalat
(iqamat al-shalah, yakni
menjalankannya dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa
kebahagiaan kaum beriman adalah
pertama-tama karena shalatnya
yang dilakukan dengan penuh kekhusyukan.
Sebuah hadits Nabi saw. menegaskan, "Yang
pertama kali akan diperhitungkan tentang seorang
hamba pada hari
Kiamat ialah shalat: jika baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan
jika rusak, maka rusak pulalah
seluruh amalnya." Dan sabda
beliau lagi, "Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap
pasrah kepada Allah), tiang
penyangganya shalat, dan puncak tertingginya ialah perjuangan di
jalan Allah".[1]
Firman Allah SWT :
وَاَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ
الْفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ.
“Dan dirikanlah sholat,
sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Al-Ankabut: 45)
Karena demikian
banyaknya penegasan-penegasan tentang pentingnya shalat
yang kita dapatkan
dalam sumber-sumber agama, tentu
sepatutnya kita memahami makna shalat itu
sebaik mungkin. Berdasarkan berbagai
penegasan itu, dapat ditarik kesimpulan
bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan ajaran dan tujuan
agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau sari pati semua bahan
ajaran dan tujuan
keagamaan. Dalam shalat itu kita
mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup kita, yaitu penghambaan
diri ('ibadah) kepada
Allah, Tuhan Yang Maha
Esa, dan melalui
shalat itu kita
memperoleh pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada
nilai-nilai hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita
bahwashalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsic dan makna
instrumental[2],
sebagai sarana pendidikan ke arah nilai nilai luhur.
Shalat adalah tiang agama Islam kerna yang
membedakan Islamnya seseorang dengan yang lain adalah shalat[3]. Sesuai
hadist Rasulullah SAW :
“Pemisah antara seseorang dengan kekufuran serta
kesyirikan adalah meninggalkan shalat.”[HR
Muslim]
“Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat,
barang siapa yang meninggalkannya, ia telah kafir.”
[HR
Ahmad, Tirmizi, al-Nasa’i, al-Baihaqi, dan al-Daruquthni]
1.
Makna
Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)
Kedua makna
itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental, dilambangkan dalam
keseluruhan shalat, baik
dalam unsur bacaannya maupun
tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih,
shalat dirumuskan sebagai "Ibadah
kepada Allah dan pengagungan-Nya dengan
bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu
yang dibuka dengan takbir (Allahu
Akbar) dan ditutup dengan taslim (al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa
barakatah), dengan runtutan dan tertib
tertentu yang diterapkan
oleh agama Islam."
Takbir
pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat al-ihram), yang
mengandung arti "takbir yang
mengharamkan", yakni, mengharamkan segala
tindakan dan tingkah
laku yang tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa
menghadap Tuhan.
Takbir pembukaan itu seakan suatu
pernyataan formal seseorang membuka hubungan
diri dengan Tuhan (habl-un min-a 'l-Lah), dan mengharamkan atau
memutuskan diri dari
semua bentuk hubungan dengan
sesama manusia (habl-un min al-nas -"hablum minannas"). Maka makna
intrinsik shalat diisyaratkan dalam arti
simbolik takbir pembukaan itu,
yang melambangkan hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya.
Jika disebutkan bahwa tujuan
penciptaan jin dan manusia oleh Allah agar
mereka menghamba kepada-Nya,
maka wujud simbolik terpenting
penghambaan itu ialah
shalat yang dibuka dengan takbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan
dimulainya sikap menghadap Allah.
Begitulah,
kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah, yang sebagai
bacaan inti dalam
shalat dengan sendirinya menjiwai makna shalat itu. Adalah
untuk doa kita
yang kita panjatkan dengan
harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalan yang lurus itu maka pada
akhir al-Fatihah kita ucapkan dengan syahdu lafal
Amin, yang artinya, "Semoga Allah mengabulkan permohonan
ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan
sebagai kondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap
wajah" kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna intrinsik
shalat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ
صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( إِذَا قُمْتُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ اَلْوُضُوءَ ثُمَّ
اِسْتَقْبِلِ اَلْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اِقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ
مَعَكَ مِنْ اَلْقُرْآنِ ثُمَّ اِرْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا
ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى
تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا
ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ اِرْفَعْ حَتَّى
تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اُسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا
ثُمَّ اِفْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا ) أَخْرَجَهُ
اَلسَّبْعَةُ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ وَلِابْنِ مَاجَهْ
بِإِسْنَادِ مُسْلِمٍ ( حَتَّى تَطْمَئِنَّ قَائِمًا )
Dari
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Jika engkau hendak mengerjakan shalat maka sempurnakanlah
wudlu' lalu bacalah (ayat) al-Quran yang mudah bagimu lalu ruku'lah hingga
engkau tenang (tu'maninah dalam ruku' kemudian bangunlah hingga engkau tegak
berdiri lalu sujudlah hingga engkau tenang dalam sujud kemudian bangunlah
hingga engkau tenang dalam duduk lalu sujudlah hingga engkau tenang dalam
sujud. Lakukanlah hal itu dalam dalam sholatmu seluruhnya."
Dikeluarkan oleh Imam Tujuh lafadznya menurut riwayat Bukhari. Menurut Ibnu
Majah dengan sanad dari Muslim: "Hingga engkau tenang berdiri."
2.
Makna
Instrumental Shalat (Arti Simbolik Ucapan Salam)
Shalat disebut
bermakna intrinsik (makna
dalam dirinya sendiri), karena ia
merupakan tujuan pada
dirinya sendiri, khususnya shalat
sebagai peristiwa menghadap
Allah dan berkomunikasi dengan
Dia, baik melalui bacaan, maupun melalui tingkah
laku (khususnya ruku' dan sujud).
Dan shalat disebut bermakna
instrumental, karena ia
dapat dipandang sebagai sarana untuk mencapai sesuatu di luar
dirinya sendiri. Sesungguhnya
adanya makna instrumental
shalat itu sangat logis, justru sebagai konsekuensi
makna intrinsiknya juga. Yaitu,
jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan menghayati
kehadiran Tuhan dalam hidup
kesehariannya, maka tentu dapat
diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak pada tingkah laku dan
pekertinya, yang tidak
lain daripada dampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran
Tuhan itu merupakan kebahagiaan tersendiri yang
tak terlukiskan dalam kata-kata, namun
tidak kurang pentingnya
ialah perwujudan keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku
berbudi pekerti luhur, sejiwa
dalam perkenan atau ridla Tuhan. Inilah makna
instrumental shalat, yang
jika shalat itu
tidak menghasilkan budi pekerti
luhur maka ia sebagai "instrumen" akan sia-sia belaka. Berkenaan
dengan ini, salah satu firman
Allah yang banyak dikutip
ialah, "Bacalah apa
yang telah diwahyukan kepada engkau (hai Muhammad),
yaitu Kitab Suci,
dan tegakkanlah shalat. Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari yang kotor dan keji, dan sungguh ingat
kepada Allah adalah
sangat agung (pahalanya).
Allah mengetahui apa
yang kamu sekalian kerjakan." Dengan jelas
firman itu menunjukkan
bahwa salah satu yang
dituju oleh adanya kewajiban shalat ialah bahwa
pelakunya menjadi tercegah
dari kemungkinan berbuat jahat
dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari kejahatan dan
kekejian itu merupakan hasil pendidikan
melalui shalat. Karena itu
jika shalat seseorang tidak mencapai hal yang demikian maka ia merupakan
suatu kegagalan dan kemuspraan yang
justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertian yang kita
dapatkan dari firman Allah,
(terjemahnya, kurang lebih) "Sudahkah engkau
lihat orang yang mendustakan agama?
Yaitu dia yang
menghardik anak yatim, dan tidak
dengan tegas menganjurkan pemberian
makan kepada orang
miskin! Maka celakalah untuk
mereka yang shalat, yang
lupa akan shalat mereka
sendiri. Yaitu mereka
yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." Jadi,
ditegaskan bahwa shalat seharusnya menghasilkan rasa
kemanusiaan dan kesetiakawanan sosial, yang dalam firman itu
dicontohkan dalam sikap
penuh santun kepada anak yatim
dan kesungguhan dalam memperjuangkan nasib orang
miskin. Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budi luhur
dan perikemanusiaan itu yang
dilambangkan dalam ucapan salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak
lain adalah doa untuk keselamatan, kesejahteraan dan
kesentosaan orang banyak, baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan
diucapkan sebagai pernyataan
kemanusiaan dan solidaritas sosial. Dengan begitu maka shalat dimulai dengan
pernyataan hubungan dengan Allah
(takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan sesama manusia
(taslim, ucapan salam). Dan jika
shalat tidak menghasilkan ini,
maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan menjadi alasan adanya
kutukan Allah, karena
dapat bersifat palsu dan
menipu. Dari situ
kita dapat memahami kerasnyaperingatan
dalam firman itu.[4]
Dalam kaitannya
dengan firman itu Muhammad Mahmud al-Shawwaf menguraikan makna
ibadat demikian: Terdapat
berbagai bentuk ibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkan manusia akan
keinsyafan tentang kekuasaan
Ilahi yang Maha Agung, yang merupakan sukma ibadat
itu dan menjadi hikmah rahasianya sehingga seorang manusia
tidak mengangkangi manusia yang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan
tidak yang satu menyerang yang
lain. Sebab semuanya
adalah hamba Allah. Betapapun hebat dan
mulianya seseorang namun
Allah lebih hebat, lebih mulia,
lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karena manusia lalai
terhadap makna-makna yang
luhur ini maka diadakanlah ibadat
untuk mengingatkan mereka.
Oleh karena itulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak
dalam pembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya.[5]
Dampak itu
terjadi hanyalah dari
ruh ibadat tersebut dan keinsyafan
yang pangkalnya ialah pengagungan
dan kesyahduan. Jika ibadat
tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebut ibadat,
melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan
bentuk manusia dan patungnya
yang tidak disebut manusia, melainkan sekedar khayal, bahan tanah atau
perunggu semata. Shalat adalah ibadat yang paling agung, dan
suatu kewajiban yang ditetapkan
atas setiap orang
muslim. Dan Allah memerintahkan untuk menegakkannya,
tidak sekedar menjalaninya saja. Dan
menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegak dan sempurna
karena kesadaran akan
tujuannya, dengan menghasilkan berbagai
dampak nyata. Dampak shalat dan
hasil tujuannya ialah sesuatu yang
diberitakan Allah kepada
kita dengan firman-Nya,
وَاَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ
الْفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ.
“Dan dirikanlah sholat, sesungguhnya sholat itu
mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.”
(Al-Ankabut: 45)
dan
firman-Nya lagi, "Sesungguhnya manusia diciptakan
gelisah: jika keburukan
menimpanya, ia banyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya,
ia banyak mencegah (dari
sedekah). Kecuali mereka yang shalat. Allah memberi peringatan keras
kepada mereka yang
menjalani shalat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan
bacaan tertentu namun melupakan
makna ibadat itu
dan hikmah rahasianya, yang
semestinya menghantarkannya pada tujuan mulia berupa gladi kepribadian,
pendidikan kejiwaan dan peningkatan budi. Allah
berfirman, "Maka celakalah
untuk mereka yang shalat, yang
lupa akan shalat mereka sendiri.
Yaitu mereka yang suka
pamrih, lagi enggan
memberi pertolongan”. Mereka
itu dinamakan "orang
yang shalat" karena
mereka mengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagai lupa
akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwa yang
jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, yang
seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya, dan menginsyafkan hati
akan kebesaran kekuasaan-Nya
dan keluhuran kebaikan-Nya. Para ulama membagi riya atau
pamrih menjadi dua.
Pertama, pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapat dilihat
orang lain guna mendapatkan pujian,
penghargaan atau persetujuan mereka.
Kedua pamrih adat
kebiasaan, yaitu perbuatan dengan
mengikuti ketentuan-ketentuannya namun
tanpa memperhatikan makna
perbuatan itu dan hikmah rahasianya serta faedahnya, dan tanpa
perhatian kepada Siapa
(Tuhan) yang sebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat
kepada-Nya Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang.
Demikian
penjelasan yang diberikan
oleh seorang ahli agama dari Arab,
al-Shawwaf, tentang makna
instrumental shalat. Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi
yang tajam tentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan: Setiap
pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya Kecuali golongan yang
beruntung (kanan)
Mereka dalam
surga, dan bertanya-tanya, tentang nasib orang-orang yang berdosa: "Apa yang
membawa kamu ke neraka?" Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk orang-orang
yang shalat, Dan tidak pula kami pernah memberi makan orang-orang melarat Lagi
pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena. Dan kami dustakan adanya
hari pembalasan Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." Maka, secara
tegas, yang membuat
orang-orang itu "masuk neraka" ialah
karena mereka tidak
pernah shalat yang menanamkan dalam diri mereka kesadaran
akan makna akhir hidup ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi
tanggung jawab sosial mereka. Maka
mereka pun tidak
pernah menunaikan tanggung jawab
sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidup egois, tidak pernah
mengucapkan salam dan menghayati maknanya, juga
tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka pun lupa,
malah tidak percaya, akan datangnya
saat mereka harus mempertanggungjawabkan seluruh
perbuatan mereka pada
hari pembalasan (akhirat).
Jika kita
kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat
--selain menanamkan kesadaran
akan makna dan tujuan akhir hidup kita ia juga mendidik dan mendorong kita untuk
mewujudkan sebuah ide atau
cita-cita yang ideal dan luhur,
yaitu terbentuknya masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan
Tuhan
melalui usaha
pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh warga masyarakat itu.
Jika kita paham ini, maka kita pun paham mengapa banyak
terdapat penegasan tentang pentingnya shalat, sekaligus kita juga paham
mengapa kutukan Tuhan begitu keras kepada
orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yang kosong,
yang tidak menghasilkan keinsyafan yang
mendalam dan komitmen sosial yang
meluas.
3.
Fungsi dan manfaat shalat bagi
individu dan kolektif
Dalam
shalat itu seseorang diharapkan
hanya melakukan hubungan vertikal dengan
Allah, dan tidak
diperkenankan melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecuali
dalam keadaan terpaksa).
Inilah ide dasar
dalam takbir.
رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( إِذَا قُدِّمَ
اَلْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا اَلْمَغْرِبَ )
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
Apabila makan malam telah dihidangkan makanlah dahulu sebelum engkau sholat
Maghrib.
|
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَقْطَعُ
صَلَاةَ اَلْمَرْءِ اَلْمُسْلِمِ - إِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ
مُؤْخِرَةِ اَلرَّحْلِ - اَلْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ
اَلْأَسْوَدُ اَلْحَدِيثَ ) وَفِيهِ ( اَلْكَلْبُ اَلْأَسْوَدِ
شَيْطَانٌ )
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: Yang akan memutuskan sholat seorang muslim bila tidak ada
tabir di depannya seperti kayu di bagian belakang kendaraan adalah wanita
keledai dan anjing hitam. Di dalam hadits disebutkan: Anjing hitam adalah setan
pembukaan sebagai
takbirat al-ihram. Karena
itu, dalam literatur
kesufian berbahasa Jawa,
shalat atau sembahyang dipandang sebagai "mati sajeroning hurip"
(mati dalam hidup), karena memang
kematian adalah panutan
hubungan horizontal sesama
manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari
pembalasan" tanpa hubungan horizontal seperti pembelaan, perantaraan, ataupun
tolong-menolong. Selanjutnya dia yang
sedang melakukan shalat
hendaknya menyadari
sedalam-dalamnya akan posisinya
sebagai seorang makhluk yang
sedang menghadap Khaliknya,
dengan penuh keharuan, kesyahduan
dan kekhusyukan. Sedapat
mungkin ia menghayati kehadirannya
di hadapan Sang
Maha Pencipta itu sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat
Khaliknya"; dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus
menginsyafi sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai dengan makna
ihsan seperti dijelaskan Nabi saw
dalam sebuah hadits. Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan,
shalat juga sering dilukiskan
sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi dengan mi'raj Nabi saw yang
menghadap Allah secara langsung di Sidrat al-Muntaha. Dengan ihsan
itu orang yang melakukan shalat menemukan salah satu makna yang amat penting
ibaratnya, yaitu penginsyafan diri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir
(omnipresent), sejalan dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti,
misalnya: "Dia (Allah) itu
beserta kamu di manapun kamu berada, dan Allah Maha teliti
akan segala sesuatu yang kamu kerjakan.
“Sholat
itu Cahaya” Maksudnya, sholat mempunyai cahaya atau menyinari. Sholat itu
cahaya dan menyinari wajah pemiliknya (Orang yang melakukan sholat) dalam satu
riwayat dikatakan “Barang siapa yang telah mengerjakan shalat pada malam hari
niscaya pada siang hari wajahnya bercahaya”. Abu Darda’ mengatakan, “Shalatlah
kamu semua pada waktu gelap malam untuk menghilangkan gelapnya kubur”. Shalat
itu menyinari hatimu (dengan) cahaya-cahaya makrifat dan memperlihatkan
kebenaran-kebenaran. Dengan demikian, orang yang melakukan sholat harus
mencurahkan pikirannya dari segala kesibukan dunia dan harus menghadap penuh
kepada Allah, sehingga dia diberi anugerah oleh Allah SWT, merasa disaksikan
olehnya, merasa dekat kepada-Nya, dan merasa cinta kepada-Nya.[6]
أخبرنا أبو داود قال هارون هو إبن
إسمعيل الخزاز قال حدثنا همام عن
قتادة عن الحسن عن حريث بن قبيصة قال قدمت
المدينة قال قلت
اللهم يسر لي جليسا صالحا فجلست إلى أبي هريرة
رضي الله عنه قال
فقلت إني دعوت الله عز وجل أن ييسرلي جليسا
صالحا فحدثني بحديث
سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم لعل الله
أن ينفعني به قال
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول
إن أول ما يحاسب به
العبد بصلاته فإن صلحت فقد أفلح و أنجح وإن فسدت
فقد جاب خسر
قال همام لا أدري هذا من كلام قتادة أو من
الرواية فإن انتقص
من فريضته شيء قال انظروا هل لعبدي
من تطوع فيكمل به
ما نقص من الفريضة ثم يكون سائر عمله على نحو
ذالك- النسائي
Abu Daud mengabarkan kepada kami,
Harun bin Ismail al-Huzaz berkata: Humam menceritakan kepada kami dari Qatadah
dari Hasan dari Harits bin Qobishoh berkata aku ------------- ari Abu Hurairah
r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya pertama-tama amalan yang seseorang itu
dihisab dengannya ialah shalatnya, maka jikalau baik shalatnya itu,
sungguh-sungguh berbahagialah dan beruntunglah ia dan jikalau rosak, sungguh-sungguh
menyesal dan merugilah ia. jikalau seseorang itu ada kekurangan dari sesuatu
amalan wajibnya, maka Tuhan Azzawajalla berfirman: "Periksalah olehmu
semua - hai malaikat, apakah hambaKu itu mempunyai amalan yang sunnah." Maka dengan amalan yang sunnah itulah
ditutupnya kekurangan amalan wajibnya, kemudian cara memperhitungkan
amalan-amalan lainnya itupun seperti cara memperhitungkan amalan shalat
ini." An-Nasa’i
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ibadah shalat
merupakan ajang bagi seorang pecintauntuk secara langsung berkeluh kesah dan
menyampaikan kerinduannya kepada Zat yang dicintainya. Setiap pecinta yang
hendak menunaikan shalat akan mempersiapkan betul keadaan dirinya dengan
berhias sebaik mungkin. Sebabnya, pada saat itu dirinya akan berjumpa dengan kekasihnya,
Allah swt. Ibadah shalat juga merupakan sarana komunikasi antara manusia dengan
Allah swt. Bahkan, boleh dibilang sebgai sarana terbaik. Karena itulah, dalam
berbagai riwayat, disebutkan bahwa shalat merupakan tonggak agama “Shalat merupakan tiang agama”.
B. Saran
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT, atas segala limpahan karunia- Nya makalah Hadits ini dapat kami selesaikan. Kami sadar sesadar
sadarnya bahwa makalah ini masih penuh dengan kekurangan kami mengharap kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan yang selanjutnya. Mudah
mudahan makalah Hadits yang sangat sederhana ini ada manfaatnya di semua
kalangan terutama kami kelompok IV (empat) yang mendapat tugas dalam
menyelesaikan makalah Hadits ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,”makna sholat dalam kehidupan”dalam
www.ismailblogspot.com
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010)
M.tahir efendi “memahami shalat” (pustaka,jakarta, 2007)hal.34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar