Aliran Maturidiyah
- 1. Pengertian Aliran Maturidiyah
Berdasarkan
buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama
pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad.[1] Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh
Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah
yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran
ini.[2]
Selain itu,
definisi dari aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada
Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli
kalami.[3] Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah
merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad
al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran
teknologi yang bercorak rasional.[4]
Jika dilihat
dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan aliran yang
memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan atau
melampaui batas[5], maksudnya aliran Maturidiyah berpegang pada
keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’.
Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk
kepada keputusan syara’.[6]
Berdasarkan
prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur’an yaitu
kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran
Al-Qur’an. Dalam menfsirkan Al-Qur’an al-Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabih
(samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan jelas
pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan pengertian
yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak mempunyai
kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat.[7]
Jadi dalam
pena’wilan Al-Qur’an, al-Maturudi sangat berhati-hati walaupun beliau
menjadikan akal suatu kewajiban dalam penafsiran suatu ayat. Penulis setuju
dengan sikap al-Maturudi dalam menafsirkan ayat yang mutasyabih, yakni
dengan mencari pentunjuk dari ayat yang muhkam dan dikombinasikan dengan
penalaran akal pikiran yang apabila seseorang tidak bisa mena’wilkan ayat
tersebut, maka orang itu dianjurkan untuk tidak mena’wilkannya.
Maka dari
bererapa pengertian di atas, kami bisa memberikan simpulan bahwa aliran
Maturidiyah merupakan aliran yang namanya diambil dari nama pendirinya yakni
al-Maturudi. Aliran ini menggunakan akal dalam analogi pemikiran atau
penafsiran ayat, namun hal itu bukan menjadi hal yang mutlak karena apabila
terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan syara’, maka itu ditolak.
- 2. Sejarah Aliran Maturidiyah
Dalam buku Teologi
Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan (Harun Nasution,
76) menyebutkan bahwa Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturudi
lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan
meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia
adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya
dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang
ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi ahli sunnah dan dikenal
dengan al-Maturidiah.[8]
Abu Mansur
al-Maturidi mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ke tiga Hijrah, di
mana aliran Mu’tazilah sudah mengalami kemundurannya, dan di antara gurunya
adalah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H).[9] Negeri Samarkand pada saat itu merupakan
tempat diskusi dalam ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Diskusi di bidang Fiqh
berlangsung antara pendukung mazhab Hanafi dan pendukung mazhab Syafi’i.[10]
Selain itu,
aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah
yang tampil bersama dengan Asy’ariah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi
kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas
kaum rasionalis di mana yang berada di barisan paling depan adalah Mu’tazilah,
maupun ekstrimitas kaum tekstualis di mana yang berada di barisan paling depan
adalah kaum Hanabillah (para pengikut Imam Ibnu Hambal).[11] Pada awalnya antara kedua aliran ini
(Maturidiyah dan Asy’ariyah) dipisahkan oleh jarak: aliran Asy’ariyah di Irak
dan Syam (Suriah) kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyah di
Samarkand dan di daerah-daerah di seberang sungai (Oxus-pen). Kedua aliran ini bisa
hidup dalam lingkungan yang kompleks dan membentuk satu mazhab. Nampak jelas
bahwa perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah Fiqh kedua aliran ini
merupakan faktor pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang
Hanafiah (para pengikut Imam Hanafi) membentengi aliran Maturidiyah, dan para
pengikut Imam al-Syafi’I dan Imam al-Malik mendukung kaum Asy’ariyah.[12]
Memang aliran
Asy’ariyah lebih dulu menentang paham-paham dari aliran Mu’tazilah. Seperti
yang kita ketahui, al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan
yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah (aliran teologi yang
amat mementingkan akal dan dalam memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran
yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah kemampuan akal
manusia. Maka dari itu, Al-Maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu
dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah
antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kerana itu juga, aliran Maturiyah
sering disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”.[13]
Salah satu
pengikut penting dari al-Maturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi
(421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi, dan al-Bazdawi
mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-bazdawi sendiri
mempunyai murid-murid dan salah seorang dari mereka ialah Najm al-Din Muhammad
al-Nasafi (460-537 H).[14]
Walaupun
konsep pemikiran al-Bazdawi bersumber dari pemikiran al-Maturudi, tapi terdapat
pemikiran-pemikiran al-Bazdawi yang tidak sefaham dengan al-Maturudi. Antara ke
dua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan faham sehingga boleh
dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan: golongan
Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara
yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.[15]
Dari paparan
mengenai sejarah di atas, di sini para penulis beropini bahwa aliran Maturidiyah
merupakan aliran dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang pada mulanya
aliran ini berakar dari pemikiran Abu Mansur al-Maturidi. Beranjak dari
pemikiran-pemikiran al-Maturidi ini lah aliran ini berkembang. Sehingga
pengikut aliran ini disebut aliran Maturudiyah yang diambil dari nama
pendirinya sendiri.
Pada
mulanya, aliran ini masih teguh pada satu kiblat yakni pemikiran-pemikiran dari
pendirinya (al-Maturidi). Namun jauh setelah al-Maturidi meninggal, yakni cucu
dari salah seorang murid al-Maturidi, al-Bazdawi memberikan pemahaman yang
bertentangan dengan pemikiran-pemikiran al-Maturidi. Sehingga banyak hal-hal
yang berbeda dalam konsep ajaran yang diberikan oleh pendirinya dengan
pemikiran al-Bazdawi itu sendiri. Maka dengan adanya perbedaan-perbedaan
tersebut, aliran Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan besar yaitu pengikut
setia al-Maturidi yang akhirnya disebut Maturidiyah Samarkand dan pengikut
al-Bazdawi yang disebut dengan Maturidiyah Bukhara.
- 3. Ajaran Aliran Maturidiyah
Sebelum kita
memahami konsep ajaran dari aliran Maturidiyah sebelum terpecah menjadi dua
golongan, kita harus tahu konsep pemikiran al-Maturudi terlebih dahulu yakni
kewajiban ma’rifah terhadap Allah Swt. mungkin di temukan berdasarkan
penalaran akal, sebagaimana Allah Swt. telah memerintahkan untuk melakukan
penalaran dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. Allah Swt. memerintahkan kepada
manusia untuk berpikir mengenai kerajaan langit dan bumi dan memberikan
pengarahan kepada manusia bahwa sekira akal pikiran diarahkan secara konsisten,
terlepas dari hawa nafsu dan taklid.[16] Sesuai dengan firman Allah Swt. berikut:
t¤yur
/ä3s9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# $YèÏHsd çm÷ZÏiB 4 ¨bÎ) Îû
Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 crã©3xÿtGt ÇÊÌÈ
Artinya:
”Dan Dia
telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS.
Al-Jaatsiyah, 45: 13)[17]
Maka dari
itu, al-Maturudi memberikan kontribusi pemikirannya kurang lebih tiga ajaran
yakni:
- Mengenai sifat-sifat Allah Swt.
Mengenai
sifat-sifat Allah Swt., aliran Asy’ariyah mengatakan sifat-sifat Allah Swt. itu
merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat. Mereka juga menetapkan adanya qudrah,
iradah,’ ilm, bayah, sama’, basher dan kalam pada Dzat Allah Swt.
Kata mereka, semua itu merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya. Mu’tazilah
mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan
dalam Al-Qur’an, seperti:’Alim(Maha mengetahui), Khabir(Maha
mengenal), Hakim(Maha bijaksana), Bashir(Maha melihat), merupakan
nama-nama bagi Dzat Allah Swt.[18] Kemudian al-Maturidi menetapkan sifat-sifat
itu bagi Allah Swt., tetapi ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah
sesuatu di luar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan
tidak pula terpisah dari Dzat-Nya.[19]
Al-Maturidi
juga menerima segala sesuatu yang disifatkan Allah Swt. kepada diri-Nya
sendiri, baik berupa sifat maupun keadaan. Sekalipun demikian, ia menetapkan
bahwa Allah Maha Suci dari antropomorfisme (menyerupai bentuk manusia)
dan dari mengambil ruang dan waktu. Terhadap ayat-ayat yang mengandung makna
sifat-sifat, seperti pernyataan bahwa Allah Swt. mempunyai wajah, tangan, mata
dan lainnya, maka al-Maturidi berdiri pada posisi penta’wil dan berjalan di
atas prinsipnya, yaitu membawa ayat-ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam.[20] Misalnya, ia menginterpretasikan
firman Allah Swt.:
§NèO 3uqtGó$#
n?tã ĸóyêø9$# . . . .
Artinya:
“Lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy….”(QS. Al-A’raf, 7:54)[21]
Ia
menafsirkan dengan makna alternatif, yaitu bahwa Allah Swt. menuju ‘Arsy dan
menciptakannya dalam keadaan rata, lurus dan teratur.[22]
Menurut
pendapat kami al-Maturidi dalam memahami sifat-siafat Allah Swt. hampir
sependapat dengan aliran Mu’tazilah, yang mengatakan bahwa antara Dzat dan
sifat-sifat Allah itu tidak terpisah. Sehingga dalam hal ini, jelas al-Maturidi
lebih dekat dengan aliran Mu’tazilah.
- Melihat Allah Swt.
Ada beberapa
nash Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah Swt. dapat dilihat, seperti firtman
Allah:
×nqã_ãr 7Í´tBöqt
îouÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
Artinya: “
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah, 75: 22-23)[23]
Berdasarkan
firman tersebut, al-Maturidi menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada hari
kiamat. Ini dikarenakan pada hari kiamat itu merupakan salah satu keadaan
khusus.[24]
Maka dari
itu para penulis juga setuju dengan pendapat al-Maturidi di atas, apalagi
diperkuat dengan firman Allah Swt. Surah Al-Qiyamah: 22-23, karena menurut
pendapat kami pada hari kiamat manusia akan berjumpa atau melihat Allah Swt.
(bagi orang-orang yang beriman). Namun dalam hal sifat dan bagaimana bentuk
Allah Swt., hanya Dialah yang mengetahui, sebagaimana kita tidak mengetahui
kapan terjadinya hari kiamat.
- Pelaku dosa besar
Al-Maturidi
mengatakan bahwa orang mu’min yang berdosa adalah menyerahkan persoalan mereka
kepada Allah Swt. Jika Allah Swt. menghendaki maka Dia mengampuni mereka
sebagai karunia, kebaikkan dan rahmat-Nya. Sebaliknya, jika Allah Swt.
menghendaki, maka Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa mereka. Dengan
demikian, orang mu’min berada di antara harapan dan kecemasan. Allah boleh saja
menghukum dosa kecil dan mengampuni dosa besar,[25] sebagaimana Dia telah berfirman:
¨bÎ) ©!$# w
ãÏÿøót br& x8uô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótur $tB tbrß y7Ï9ºs `yJÏ9 âä!$t±o 4
`tBur õ8Îô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #utIøù$# $¸JøOÎ) $¸JÏàtã ÇÍÑÈ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang
besar.” (QS. An-Nisa’, 4: 48)[26]
Setelah
Maturidiyah terpecah menjadi dua bagian, yakni aliran Samarkand dan Bukhara,
ajaran aliran maturidiyah mengalami perbedaan dan ada juga yang sama di antara
ke dua aliran ini, yakni sebagai-berikut:
- Mengenai pelaku dosa besar
Aliran
Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku
dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimana dalam dirinya.
Adapun balasan yang diperolehnya kelak diakherat bergantung apa yang
dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu,
keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki
pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan memasukkannya keneraka, tetapi tidak
kekal didalamnya.[27]
Hal ini
karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai
dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik.[28] Ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam
Al-Qur’an Surrah An-Nissa’:48.
- Mengenai iman dan kufur
Dalam
masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah
tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.[29] Ia berargumentasi dengan ayat Al-Qur’an
surat Al-hujurat 14:
* ÏMs9$s%
Ü>#{ôãF{$# $¨YtB#uä ( @è% öN©9 (#qãZÏB÷sè? `Å3»s9ur (#þqä9qè%
$oYôJn=ór& $£Js9ur È@äzôt ß`»yJM}$# Îû öNä3Î/qè=è% ( bÎ)ur (#qãèÏÜè?
©!$# ¼ã&s!qßuur w Nä3÷GÎ=t ô`ÏiB öNä3Î=»yJôãr& $º«øx© 4 ¨bÎ) ©!$#
Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊÍÈ
Artinya:
“orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu
belum beriman, tapi Katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk
ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan
mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat, 49: 14)[30]
Ayat
tersebut di pahami Al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak
cukup hanya perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang di
ucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak
mengakui ucapan lidah.[31]
Maturidiyah
Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman
tidak dapat berkurang, tidak bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang
dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa
ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika
bayangan itu hilang, esnsi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan
berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran baying-bayang (ibadah) itu, iman justru
menjadi bertambah.[32]
- Mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
- Mengenai perbuatan Tuhan
Mengenai
perbuatan Allah SWT. ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah
Samarkad dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkad, yang
juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, pendapat bahwa
perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal-hal yang baik saja. Demikian juga
pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.[33]
Maturidiyah
Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa
Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Bazdawi, Tuhan pasti menempati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang
yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang
yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang
pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.[34]
- Mengenai perbuatan Manusia
Ada
perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukharah mengenai
perbuatan manusia. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut
Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata
sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan, maksudnya daya untuk berbuat tidak
diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Sedangkan Maturidiyah
Bukharah memberikan tambahan dalam masalah daya. Manusia tidak mempunyai daya
untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia
hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan bagi-Nya.[35]
- Mengenai sifat-sifat Tuhan
Maturidiyah
Bukhara berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat
Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah
diberi ta’wil.[36]
Sedangkan
golongan Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain
dari Tuhan. Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat
dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.[37]
- Mengenai kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan
Kehendak
mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan.
Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik dan tidak
mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya
terhadap manusia. Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan memiliki
kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan
segala-galanya. Tidak ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan
bagi Tuhan.[38]
- 4. Sekte-sekte atau Aliran-Aliran Maturidiyah
Berdasarkan
beberapa referensi yang kami peroleh, aliran Maturidiyah dapat digolongkan
menjadi dua bagian yaitu:
- Golongan Samarkand
Yang menjadi
golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini
cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat
Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah,
bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi
berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.[39]
- Golongan Bukhara
Golongan ini
dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi
yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi
salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah
pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai
pengikut aliran Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi selalu sefaham dengan Maturidi.
Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan
hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang
di kalangan umat Islam.[40]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar