Blogger Widgets

IsdiQLia

Minggu, 14 Desember 2014

ANTROPOLOGI



ANTROPOLOGI


A.   PENGANTAR
Pada pertemuan ini mahasiswa-mahasiswi akan diarahkan untuk dapat menguasai dan mengimplementasikan konsep-konsep dasar antropologi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu dalam kegiatan perkuliahan target kompetensi yang harus tercapai adalah mahasiswa-mahasiswi dapat menjelaskan pengertian, ruang lingkup, dan tujuan antropologi, menjelaskan konsep-konsep dasar antropologi, dan mengimplementasi konsep dasar antropologi dalam kehidupan masyarakat.

B.   URAIAN MATERI
1.   Pengertian
Menurut Koentjaraningrat, antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan. Berdasarkan tinjauan bahasa, antropologi dapat dijelaskan secara sederhana sebagai ilmu yang mempelajari manusia. Sedangkan menurut William A. Haviland Antropologi adalah studi tentang umat manusia, yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Dari beragam definisi tersebut, dapat dinyatakan bahwa antropologi adalah sebuah bidang ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan yang dihasilkannya hingga menimbulkan perbedaanperbedaan pada sekelompok manusia satu dengan lainnya.

2.   Aspek-aspek Kajian
Antropologi bukan satu-satunya ilmu yang mempelajari manusia, sebab obyek material semua ilmu sosial adalah manusia. Ilmu pendidikan, politik, ekonomi, fisiologi dan sebagainya menempatkan manusia sebagai obyek materialnya. Bedanya, antropologi mempelajari manusia secara menyeluruh, holistik, pada semua waktu dan tempat. Di antara pertanyaan mendasar dalam antropologi adalah apa saja yang secara umum ada pada semua manusia, apa saja perbedaan kelompok manusia satu dan lainnya dan mengapa sekelompok manusia memiliki pola perilaku atau menganut budaya tertentu. Ini memperlihatkan bahwa luasnya tinjauan antropologi terhadap manusia dan kemanusiaannya terkait pula dengan konteks ruang dan waktu yang luas.
Hal-hal yang membedakan perhatian antropologi dari ilmu-ilmu sosial yang lain terletak pada perhatian antropologi pada bidang-bidang berikut :
a.    Masalah sejarah perkembangan manusia sebagai makhluk sosial,
b.   Keanekaragaman manusia dari segi ciri tubuhnya,
c.    Penyebaran warna bahasa berbagai suku bangsa,
d.   Keragaman warna kebudayaan.
Antropologi memiliki dua sisi holistik yakni meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiannya, karena antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Selain perbedaan fisik, manusia juga berbeda dalam hal cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai yang dianut. Hal inilah yang secara tradisional memisahkan antropologi dari disiplin ilmu sosial dan kemanusiaan lainnya karena penekanannya pada perbandingan fisik, perilaku kebudayaan yang lebih luas pada setiap kelompok manusia.
Antropologi telah sampai pada suatu perkembangan yang luas, dan memasuki beberapa area penelitian khusus, yang meliputi masalah-masalah berikut.
a.    Sejarah asal dan perkembangan manusia secara biologis,
b.   Sejarah terjadi dan perkembangan aneka ragam ras dan warna kulit, yang mendasarkan pada ciri-ciri fisiknya,
c.    Sejarah asal, perkembangan dan penyebaran aneka ragam warna bahasa yang digunakan manusia di seluruh dunia,
d.   Sejarah asal, perkembangan dan penyebaran aneka ragam kebudayaan manusia di seluruh dunia,
e.    Asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan kemasyarakatannya.

3.   Ruang Lingkup Antropologi
Berdasarkan beberapa aspek yang menjadi tinjauan antropologi, tampak bahwa antropologi memiliki bidang kajian yang sangat luas. Hal ini menyebabkan pemahaman terhadap antropologi memerlukan pemahaman beberapa aspek dan konsep-konsep elementernya, di samping bidang-bidang kajian tersebut. Peta konsep dari aspek-aspek yang perlu dipelajari dalam rangka memahami antropologi, diuraikan berikut :
a.    Pemahaman mengenai definisi atau pengertian antropologi sebagai sebuah istilah ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dipahami berdasarkan penelusuran pengertian antropologi dari segi bahasa dan instilah,
b.   Pemahaman manfaat antropologi baik dari segi pengembangan ilmu maupun dalam perikahirupan sehari-hari. Bagian ini merupakan aspek yang ditujukan dalam rangka membangun motivasi pembelajar mengenai manfaat-manfaat yang dapat dipetik melalui kajian dan penelitian antropologi,
c.    Sejarah antropologi yang membantu pembelajar memahami perkembangan antropologi dari periode awal hingga perkembangan mutakhirnya,
d.   Aspek-aspek kajian antropologi membantu pembelajar memahami dimensi bidang garap antropologi yang membedakannya dari disiplin lain,
e.    Cabang-cabang antropologi mengkaji pengkhususan-pengkhususan wilayah kajian antropologi hingga sesuai dengan lapangan kajian dan urgensitas tertentu,
f.     Konsep-konsep antropologi mengaji persepsi-persepsi atau asumsiasumsi dasar yang mendasari pola kajian antropologi, terutama terkait dengan aspek-aspek kebudayaan yang berhasil dikembangkan para tokohnya, antropolog,
g.    Metode antropologi menyajikan berbagai pendekatan yang biasa digunakan untuk menelaah antropologi sebagai sebuah lapangan kajian.

4.   Sejarah Perkembangan Antropologi
Seperti halnya ilmu-ilmu sosial lain antropologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan mengalami perkembangan tahap demi tahap. Dalam hal ini Koentjaraninggrat memetakan perkembangan antropologi ke dalam empat fase, yaitu fase pertama, kedua ketiga dan keempat.

Fase Pertama (Sebelum Tahun 1800-an)
Fase pertama dimulai sekitar abad ke-15 dan 16, ketika bangsa-bangsa Eropa mulai berlomba-lomba melakukan penjelajahan atau petualangan (piracy) ke berbagai wilayah dunia di luar Eropa. Mereka mengarungi tujuh samudera dan bertemu dengan bangsa-bangsa lain di Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Fenomena-fenomena tersebut mereka catat dalam buku-buku harian maupun buku kisah perjalanan. Hampir semua hal yang berkenaan dengan suku bangsa selain Eropa tersebut mereka catat, terutama berkaitan dengan ciri-ciri fisik (ras), bahasa, kebudayaan, susunan masyarakat dan pola hidupnya.
Catatan-catatan tersebut selanjutnya dikenal dengan istilah etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa. Catatan-catatan etnografi tersebut menarik perhatian para pelajar Eropa, hingga meningkatkan perhatian mereka terhadap suku-suku bangsa di luar Eropa. Hingga memasuki abad ke-19 perhatian tersebut kian meningkat dengan adanya usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan catatan-catatan etnografi untuk dipelajari secara ilmiah.

Fase Kedua (Tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi telah lahir dalam bentuk karangankarangan yang disusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. Ada keyakinan umum bahwa masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama, ditandai dengan munculnya beragam stereo type terhadap berbagai bangsa di luar Eropa, seperti dengan digunakannya istilah primitif, barbar, tertinggal dan sebagainya.
Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya. Pada fase ini, antropologi dbutirpatkan sebagai bidang ilmu pengetahuan yang ditujukan dalam rangka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

Fase Ketiga (Awal Abad 20-an)
Fase ini ditandai dengan kecenderungan negara-negara Eropa berlombalomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Untuk mengatasinya, pemerintahan-pemerintah kolonial (Eropa) berupaya keras menemukan berbagai kelemahan suku-suku bangsa asli agar mudah ditklukan. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, yang seluruhnya ditujukan untuk mendukung kepentingan kolonial.

Fase Keempat (Setelah Tahun 1930-an)
Fase ini ditandai dengan mulai hilangnya kekhasan budaya berbagai suku bangsa akibat pengaruh budaya Eropa pada daerah-daerah jajahan. Banyak bangsa di dunia yang terbawa arus perubahan sosial, politik dan pemikiran yang terjadi di Eropa akibat meluasnya paham-paham politik. Banyak bangsa semakin tercerabut dari budaya aslinya, karena mengikuti perkembangan paham, budaya dan sistem politik Eropa.
Banyak komunitas suku bangsa terpecah-belah ke dalam kelompokkelompok penganut aliran politik, seperti liberalisme, fasisme, marxisme dan sebagainya. Budaya-budaya asli sebagaimana dikenal sebelum masa penjajahan banyak yang mengalami perubahan, bahkan nyaris hilang sama sekali. Bahkan berbagai persoalan sosial yang muncul di masyarakat d luar Eropa hampir seluruhnya tidak berbeda dari yang berkembang di negaranegara Eropa sendiri.
Perang Dunia I dan II yang sebenarnya perang antara bangsa Eropa sendiri, turut dirasakan akibatnya oleh bangsa-bangsa di luar Eropa. Berbagai kehancuran, kesengsaraan, kemiskinan dan kesenjangan sosial akibat peristiwa tersebut turut dialami bangsa-bangsa jajahan. Perang dunia tersebut pada akhirnya membawa banyak perubahan dalam kehidupan umat manusia, tidak hanya di Eropa sendiri, melainkan juga di seluruh bangsa di luar Eropa. Munculnya semangat kebangsaan, nasionalisme, menghinggapi banyak komunitas masyarakat jajahan dan menyuntikkan energi untuk melepaskan diri dari dominasi bangsa Eropa.
Nasionalisme yang berkembang meluas tidak lagi dalam batas suku bangsatertentu, melainkan meliputi banyak suku bangsa. Hal ini dikarenakan batasbatas
kebangsaan bukan terletak pada ikatan suku bangsa yang mendiami suatu wilayah, melainkan pada wilayah jajahan. Dalam perkembangan selanjutnya, konteks kebudayaan tidak lagi hanya dipahami sebagai pola sikap dan perilaku bangsa-bangsa terasing, melainkan memasuki konteks yang lebih luas. Sebagian di antara konteks tersebut adalah budaya-budaya baru yang terbentuk akibat perkembangan modernitas. Sebagian di antara budaya-budaya tersebut bahkan tidak dikenal pada masa sebelumnya, seperti budaya politik, budaya perkotaan, budaya pelajar SLTA dan mahasiswa dan mahasiswi, budaya kerja, budaya hippies dan sebagainya.

5.   Cabang-cabang Antroplogi
a.    Antropologi Fisik
Antropologi fisik adalah bidang kajian antropologi yang menaruh perhatian khusus pada sisi fisik manusia. Bidang antropologi ini mempelajari gen-gen yang menentukan struktur tubuh manusia. Bidang tersebut mempelajari perkembangan manusia sejak manusia itu mulai ada di bumi sampai sekarang. Bidang antropologi ini pada umumnya banyak melakukan penelitian forensik terhadap fosil-fosil manusia terdahulu. Temuan-temuan dalam bidang ini telah banyak menyumbangkan penjelasan berkenaan dengan perkembangan struktur dan bentuk fisik manusia. Saat ini, ahli-ahli antropologi masih selalu diperkukan dalam menganalisis kasus-kasus yang membutuhkan analisis forensik. Mereka bahkan tidak jarang hadir di pengadilan dalam rangka memberikan keterangan forensik berkenaan dengan kasus-kasus kriminal tertentu.

b.   Arkeologi
Arkeologi merupakan salah satu cabang antropologi yang berusaha menjelaskan benda-benda dan fosil-fosil makhluk hidup, termasuk manusia di masa lalu. Ahli arkeologi selalu terlibat dalam kegiatan pencarian benda-benda bersejarah peninggalan manusia masa lampau. Mereka banyak melakukan penggalian untuk menemukan sisa-sisa peralatan hidup atau senjata. Melalui fosil-fosil dan peninggalan-peninggal benda-benda bersejarah mereka dapat merekonstruksi bentu-bentuk, model-model, bahkan peristiwa dan pola hidup manusia masa lalu. Berdasarkan hasil rekonstruksi mereka berbagai benda dan poha hidup manusia masa lalu dapat mereka gambarkan. Selain untuk mengisi museum-museum, hasil kerja mereka banyak membantu sejarawan merekonstruksi peristiwa-peristiwa bersejarah.

c.    Antropologi Sosial-Budaya
Antropologi sosial-budaya lebih sering disebut dengan antropologi budaya. Bidang antropologi ini berhubungan erat dengan etnologi. Bidang ilmu ini mempelajari tingkah laku manusia, baik individu ataupun kelompok. Tingkah laku yang dipelajari bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan panca indera. Lebih dari itu, penelitian antropologi budaya juga berusaha memahami sesuatu yang ada dalam pikiran manusia. Pola perilaku manusia pada dasarnya bukan sesuatu yang semata berjalan secara mekanistik, melainkan karena kesadaran atau pola pikir yang terbangun oleh proses belajar dan hasil interaksi sosial, meski perilaku tersebut kadang dilakukan manusia secara tanpa disadari. Misalnya, seorang pengendara motor berhenti saat lampu merah menyala. Pada dasarnya laju kendaraan mereka terhenti bukan karena nyala lampu merah, melainkan karena ada kesadaran, atau minimal ada kebiasaan mereka menghentikan kendaraan bilamana lampu merah menyala, atau karena takut ditangkap polisi bila berjalan, atau dapat juga karena khawatir terjadi kecelakaan atau karena alasan-alasan tertentu baik yang dia sadari atau tidak.
Alam pikiran atau kesadaran seperti inilah yang oleh para antropolog disebut dengan kebudayaan. Setiap kelompok manusia diyakini memiliki kebiasaankebiasaan tertentu yang berpola khas dan menjadi kebiasaan umum dalam kelompoknya. Hal ini dapat dicermati pada perilaku masyarakat dalam berbagai hal, mulai dari cara mereka beragama, menjalankan kegiatan sosial, belajar-mengajar, menyeberang jalan dan sebagainya. Masyarakat dengan kesadaran tertentu akan memilih berbuat atau tidak berbuat sesuatu, memilih cara tertentu atau cara lain, memilih bersikap tertentu atau sikap lainnya. Kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia semacam inilah yang merupakan objek formal penelitian-penelitian antropologi sosial budaya. Antropologi sosial-budaya dalam perkembangannya terpecah ke dalam bentuk-bentuk spesialisasi atau pengkhususan disesuaikan dengan bidang kajian yang dipelajari.

6.   Konsep-konsep Antropologi
Sebagai sebuah perspektif keilmuan, dalam antropologi terdapat beberapa konsep yang mendasari asumsi ataupun perspektif keilmuannya. Masingmasing konsep berkembang dengan kelebihan dan kekurangannya. Di antara konsep-konsep antropologi yang berkembang adalah konsep evolusi sosial universal, konsep kulturkreis dan kulturschicht, Konsep daerah kebudayaan (culture area) dan Konsep daerah kebudayaan (culture area).

a.    Konsep evolusi sosial universal
Konsep ini diperkenalkan oleh H. Spencer. Seluruh alam baik organis, nonorganis, maupun superorganis senantiasa berevolusi. Evolusi tersebut didorong oleh kekuatan mutlak yang disebut evolusi universal. Gambaran menyeluruh tentang evolusi universal manusia memperlihatkan bahwa dalam garis besaarnya perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari tiap bangsa di dunia telah atau sedang melalui tingkat-tingkat evolusi yang sama. Meski demikian tak dapat diabaikan bahwa secara khusus tiap bagian masyarakat atau sub-sub kebudayaan bisa mengalami proses evolusi serupa. Konsep mengenai proses evolusi tersebut sama sebagaimana konsep evolusi pada umumnya. Seperti halnya proses evolusi biologi, jenis-jenis makhluk yang bisa hidup adalah jenis-jenis yang sesuai dengan persyaratan lingkungan alamnya. Dalam evolusi sosial, aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat bertahan di dalamnya adalah hukum yang melindungi kebutuhan warganya; yakni hukum yang paling cocok dengan persyaratan masyarakat di mana mereka hidup; hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yang menempatkan masyarakat sebagai pihak yang paling berkuasa, yang paling pandai, dan yang paling mampu. Kurang lebih pandangan ini sama dengan pandangan hukum evolusi dengan adagiumnya yang paling terkenal, survival of the fittest, siapa yang kuat dia yang bertahan. Jenis atau individu dapat bertahan adalah mereka yang mempunyai ciri-ciri yang sesuai dengan lingkungannya.

b.   Konsep kulturkreis dan kulturschicht
Konsep ini diperkenalkan oleh F. Graebner. Graebner menawarkan suatu cara baru untuk menyusun benda-benda kebudayaan di museum. Biasanya benda-benda tersebut disusun menurut asalnya, tetapi oleh Graebner disusun berdasarkan persamaan dari unsur-unsur tersebut. Metode klasifikasi unsur-unsur kebudayaan dari berbagai tempat di muka bumi ke dalam kulturkreise tersebut dilakukan dengan tahap-tahap berikut :
1)   Pertama-tama seorang peneliti harus melihat tempat-tempat di muka bumi yang terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sama. Peneliti kemudian melihat apakah di suatu daerah terdapat unsur-unsur lain yang sama dengan unsur-unsur kebudayaan di daerah yang lain. Alasan pembandingan berupa suatu kuantitas dari berbagai unsur kebudayaan disebut Quantitas Kriterium. Tiap-tiap kelompok dari unsur-unsur yang sama tadi masing-masing disebut Kulturkompleks.
2)   Pada tahap berikutnya, peneliti menggolongkan semua tempat yang menjadi pembanding tersebut menjadi satu, seolah-olah memasukkan tempat-tempat tersebut ke dalam satu lingkaran peta bumi. Tempat-tempat tadi dikelompokkan menjadi satu Kulturkreis. Melalui prosedur tersebut, akan tergambar berbagai kulturkreise,yang saling berpadu dan bersilangan di atas peta bumi. Dari sana akan tampak gambaran penyebaran atau difusi dari unsur-unsur kebudayaan di masa yang lampau. Dengan klasifikasi kulturkreise itulah Kulturhistorie umat manusia direkonstruksikan dan memperlihatkan sejarah penyebaran bangsabangsa di muka bumi.

c.    Konsep daerah kebudayaan (culture area)
Konsep Culture Area dicetuskan oleh Wissler. Culture Area dikembangkan berdasarkan pembagian kebudayaan-kebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah yang merupakan kesatuan corak kebudayaan tertentu. Konsep Culture Area dikembangkan karena keinginan Wissler mengklasifikasikan benda-benda dari kebudayaan-kebudayaan suku bangsa Indian yang tinggal terpencar di Benua Amerika Utara ke dalam kelompok-kelompok tertentu dalam rangka pameran di museum.
Dalam satu Culture Area diggolongkan berpuluh-puluh kebudayaan yang berbeda satu sama lain ke dalam satu kelompok berdasarkan atas persamaan dari sejumlah ciri yang mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut. Ciri-ciri itu tidak hanya berupa unsur kebendaan, seperti alat-alat berburu, alat-alat bertani, senjata, ornamen, bentuk dan gaya pakaian, bentuk tempat kediaman dan sebagainya, melainkan juga unsur-unsur yang lebih abstrak, seperti unsur-unsur sistem organisasi sosial, dasar-dasar mata pencaharian hidup, sistem perekonomian, upacara keagamaan, dansebagainya.

d.   Konsep azas klasifikasi elementer
Konsep ini dikembangkan oleh Levi-Strauss. Menurutnya, dalam akal pikiran manusia secara universal merasakan dirinya berhubungan dengan hal-hal tertentu dalam alam semesta sekelilingnya, atau dengan manusia-manusia tertentu dalam lingkungan sosial-budayanya. Manusia merasa dirinya berototeman (dalam bahasa Ojibwa berarti “dia adalah kerabat pria saya”) dengan hal-hal itu. Dalam hubungan itu manusia mengklasifikasikan lingkungan alam serta sosial budayanya ke dalam kategori-kategori yang elementer.
Metode Levi-Strauss menganalisa gejala-gejala sosial yang menurut pengertiannya berakar dalam cara-cara berpikir elementer dari akal manusia untuk menggolongkan individu atau kelompok dengan lingkungan alam atau lingkungan sekitarnya. Selain itu, pendirian Levi-Strauss mengenai cara-cara logika elementer dari akal manusia itu digunakan untuk mengklasifikasikan alam semesta dan masyarakat sekitarnya ke dalam beberapa kategori dasar. Usaha Levi-Strauss dilakukan dalam rangka menganalisa sistem-sistem kekerabatan dan mitologi. Ia tidak bermaksud mencari azas-azas universal dari proses-proses berpikir simbolik yang menyebabkan sistem kekerabatan di dunia hidup dan berlangsungnya suatu kebiasaan. Dalam analisa Levi-Strauss mengenai sistem kekerabatan, ia mengaitkan sistem-sistem kekerabatan itu dengan masyarakat dan kebudayaan yang bersangkutan.

7.   Antropologi dan Ilmu-ilmu Sosial
Antropologi memiliki kaitan erat dengan bidang-bidang keilmuan lain. Kaitan tersebut tidak hanya dalam rangka mengembangkan kajian antropologi. Bahkan sebaliknya, antropologi menjadi perangkat penting yang diperlukan dalam kajian dan pengembangan bidang-bidang keilmuan lainnya. Kaitan tersbeut dapat ditelusuri pada hubungan antropologi dengan beberapa bidang keilmuan berikut.

8.   Antropologi dan Psikologi
Seorang psikolog memerlukan pemahaman antropologi secara memadai. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan pikiran manusia, sedangkan antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia dan masyarakat, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, baik yang masih ada maupun yang sudah punah. Dalam mempelajari perilaku individu maupun masyarakat, terlebih dahulu psikolog perlu mengetahui kebudayaan yang berlaku di lingkungan individu tersebut. Hal ini dikarenakan dalam setiap kebudayaan terdapat perilaku atau kebiasaan berbeda-beda yang mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan ataupun perilaku seseorang. Sifat kepribadian individu mungkin menjadi penyebab hubungan tertentu antara beberapa pola kebudayaan. Kebudayaan tertentu sangat mungkin menghasilkan karakteristik psikis tertentu, yang pada gilirannya menimbulkan ciri budaya lainnya. Pendekatan psikologis dalam antropologi budaya menghubungkan variasi-variasi dalam pola-pola budaya dengan pengasuhan anak, kepribadian, kebiasaan, dan kepercayaan yang mungkin menjadi konsekuensi dari faktor psikologis dan prosesnya. Hubungan psikologi dengan antropologi juga telah memunculkan cabang baru, yaitu antropology in mental health. Bidang penelitian dan pembahasan antropologi ini lebih difokuskan pada emosi-emosi tertekan. Di antara berbagai penyakit jiwa yang diobati oleh para psikiater, ternyata ada yang tidak disebabkan oleh kelainan-kelainan biologis atau kerusakan organis, melainkan akibat tekanan jiwa dan emosi yang diakibatkan oleh masalahmasalah sosial-budaya.

9.   Antropologi dan Sejarah
Antropologi memiliki kaitan erat dengan studi sejarah. Bukti-bukti dan berbagai perangkat yang diperlukan dalam memahami peristiwa-peristiwa masa lalu sangat ditentukan oleh hasil kerja hampir seluruh cabang antropologi. Arkeologi menyediakan bukti-bukti materiil sejarah, etnolinguistik membantu menelusuri perkembangan bahasa. Bahkan pemahaman sejarah sejarah ideal bahkan mengharuskan kemampuan untuk mendeskripsikan situasi sosial-budaya yang menjadi konteks terjadinya suatu peristiwa. Sementara bagian ini hampir seluruhnya merupakan wilayah garapan antropologi.



10.               Antropologi dan Politik
Meski bukan segalanya, dan bukan satu-satunya pendekatan, antropologi merupakan perangkat penting dalam memahami persoalan-persoalan politik. Peristiwa politik pada kenyataannya tidak hanya dapat disandarkan pada variabel-variabel kepentingan semata. Pemahaman atas peristiwa politik tertentu bahkan lebih sering tidak dapat dilepaskan dari persoalan budaya dan kesejarahan suatu komunitas masyarakat. Dalam konteks ini, antropologi boleh dikata menjadi perangkat penting dalam analisis politik, tetapi bukan sebaliknya.

11.               Antropologi dan Ekonomi
Dalam perspektif antropologi, masalah-masalah ekonomi, termasuk variabelvariabel yang mempengaruhi dinamikanya sebenarnya tidak semata-mata masalah ketersediaan modal. Masalah ekonomi juga terkait dengan masalah pola pikir, pola perilaku dan gaya hidup, yang seluruhnya merupakan bagian dari masalah penting yang menjadi perhatian antropologi. Analisis terhadap ekonomi, apalagi bilamana terkait dengan penentuan strategi dan kebijakan ekonomi sangat tidak bijak bilamana mengabaikan eksistensi antropologi sebagai salah satu perangkat utama dalam menganalisisnya.

12.               Antropologi dan Pendidikan
Masalah-masalah pendidikan selama ini lebih banyak didekati secara didaktikmetodik. Masalah pilihan metode, strategi dan perangkat-perangkat pembelajaran sering dijadikan instrumen utama dalam menganalisis dan memecahkan persoalan-persoalan pendidikan. Padahal, sebenarnya lingkup persoalan pendidikan tidak hanya menyangkut masalah didaktik-metodik semata. Bahkan boleh dibilang, aspek didaktik-metodik sebenarnya merupakan unsur yang sifatnya teknis dan operasional hingga tidak terlalu membutuhkan analisis yang terlalu rumit.
Aspek yang sering diabaikan adalah dimensi antropologis pendidikan. Melihat pendidikan dari faktor manusia mestinya menjadi pusat perhatian ilmu pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan pada dasarnya terarah pada upaya “memproduk” manusia dari “bahan baku” manusia dengan memanfaatkan manusia pula sebagai “mesin produksi”. Manusia dengan dimensi kemanusiaan yang luas mestinya memperoileh porsi perhatian yang jauh lebih luas dan mendalam dalam rangka penyelesaian masalah-masalah pendidikan. Pilihan masyarakat pada suatu jenis pendidikan, pandangan dan kepedulian masyarakat terhadap pendidikan, pandangan siswa terhadap belajar, hingga pola pikir dan pola kerja guru mestinya perlu memperoleh perhatian serius dalam rangka mengurai rumitnya persoalan pendidikan. Sementara hal-hal tersebut tidak lain merupakan bagian dari bidang garap antropologi. Mengabaikan antropologi dalam menganalisis dan menyelesaikan persoalan pendidikan akan mengantarkan pada analisis dan pembenahan yang artifisial saja.

C.   LATIHAN
Bacalah dan analisis kasus di bawah berdasarkan konsep budaya/antropologi !
Kasus
Dahulu sebuah keluarga lebih sering memprioritaskan laki-laki untuk menempuh pendidikan dibanding anak perempuan. Sekarang kecenderungan demikian semakin berkurang bahkan hilang.
a.    Jelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut!
b.   Jelaskan, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pandangan masyarakat terhadap pendidikan bagi anak perempuan.

D.  RANGKUMAN
  1. Antropologi adalah sebuah bidang ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman budaya fisik dan non-fisik, serta kebudayaan yang dihasilkannya hingga menimbulkan perbedaan-perbedaan pada sekelompok manusia satu dengan lainnya.
  2. Aspek-aspek kajian antropologi meliputi: Sejarah asal dan perkembangan manusia secara biologis yangd dipelajari oleh Paleo-antropologi, sejarah terjadi dan perkembangan aneka ragam ras dan warna kulit, yang mendasarkan pada ciri-ciri fisiknya yang dipelajari oleh Antropologi fisik, sejarah asal, perkembangan dan penyebaran aneka ragam warna bahasa yang digunakan manusia di seluruh dunia yang dipelajari oleh Etnoliguistik, sejarah asal, perkembangan dan penyebaran aneka ragam kebudayaan manusia di seluruh dunia yang dipelajari oleh Prehistori, serta asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan kemasyarakatannya yang dipelajari oleh Etnologi.
  3. Antropologi berkembang ke dalam beberapa cabang keilmuan yang secara garis besar dapat dipilahkan ke dalam tiga bidang spesialisasi, yakni antropologi fisik, arkeologi dan antropologi sosial-budaya. Dari sini antropologi masih berkembang pada bidang kajian yang lebih spesifik seperti antropologi hukum, ekonomi, politik pendidikan dan sebagainya.
  4. Beberapa konsep antropologi yakni konsep evolusi sosial universal, konsep kulturkreis dan kulturschicht, Konsep daerah kebudayaan (culture area) dan Konsep azas klasifikasi elementer.
  5. Kebudayaan merupakan seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Dalam ungkapan sederhana kebudayaan sering didefinisikan sebagai hasil cipta, karya dan karsa manusia. Secara konseptual, kebudayaan mengenal 4 konsep dasar, yaitu: Diperoleh dari belajar, milik bersama, kebudayaan adalah pola, serta bersifat dinamis dan adaptif.
  6. Antropologi memiliki kaitan erat dengan ilmu-ilmu sosial, baik dalam rangka
  7. mengembangkan kajian antropologi maupun perangkat pengembangan
  8. ilmu sosial, seperti psikologi, sejarah, politik, ekonomi hingga ilmu pendidikan.

E.   PENILAIAN
  1. Jelaskan secara singkat pengertian, ruang lingkup, dan tujuan antropologi ! (bobot : 30)
  2. Jelaskan secara singkat konsep-konsep dasar antropologi ! (bobot : 30)
  3. Berilah satu contoh penerapan konsep dasar antropologi dalam kehidupan di masyarakat ! (bobot : 40)



















DAFTAR PUSTAKA

Baal, J. Van. 1987. Sejarah Teori Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.
Benedict, Ruth. 1980. Patterns of Culture. Boston: Houghton Mifflin Co.
Fathoni, Abdurrahmad. 2006. Antropologi Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Harris, Marvin. 1988. Culture, People, Nature; An Introduction to General Anthropology. New York: Harper and Row Publishers.
Jurnal Antropologi Papua, Vol. 1, No. 1, Agustus 2002.
Koentjaraningrat. 1989. Pengantar Ilmu Antropologi, Jilid I dan II. Jakarta: Aksara Baru.
Syam, Nur. 2007. Madzhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta: LkiS.
Van Peursen, C.A. 1983. Strategi Kebudayaan. Terj. Dick Hartoko.
Yogyakarta: BPK Gunung Mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar