ANTROPOLOGI
A.
PENGANTAR
Pada
pertemuan ini mahasiswa-mahasiswi
akan diarahkan untuk dapat menguasai
dan mengimplementasikan konsep-konsep dasar antropologi dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Oleh karena itu dalam kegiatan perkuliahan target kompetensi yang
harus tercapai adalah
mahasiswa-mahasiswi dapat menjelaskan pengertian, ruang lingkup, dan tujuan
antropologi, menjelaskan konsep-konsep dasar antropologi, dan mengimplementasi
konsep dasar antropologi dalam kehidupan masyarakat.
B.
URAIAN
MATERI
1.
Pengertian
Menurut
Koentjaraningrat, antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada
umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta
kebudayaan yang dihasilkan. Berdasarkan tinjauan bahasa, antropologi dapat
dijelaskan secara sederhana sebagai ilmu yang mempelajari manusia. Sedangkan
menurut William A. Haviland Antropologi adalah studi tentang umat manusia, yang
berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya
serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Dari
beragam definisi tersebut, dapat dinyatakan bahwa antropologi adalah sebuah
bidang ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta
kebudayaan yang dihasilkannya hingga menimbulkan perbedaanperbedaan pada sekelompok
manusia satu dengan lainnya.
2.
Aspek-aspek
Kajian
Antropologi
bukan satu-satunya ilmu yang mempelajari manusia, sebab obyek material semua
ilmu sosial adalah manusia. Ilmu pendidikan, politik, ekonomi, fisiologi dan
sebagainya menempatkan manusia sebagai obyek materialnya. Bedanya, antropologi
mempelajari manusia secara menyeluruh, holistik, pada semua waktu dan tempat.
Di antara pertanyaan mendasar dalam antropologi adalah apa saja yang secara
umum ada pada semua manusia, apa saja perbedaan kelompok manusia satu dan
lainnya dan mengapa sekelompok manusia memiliki pola perilaku atau menganut
budaya tertentu. Ini memperlihatkan bahwa luasnya tinjauan antropologi terhadap
manusia dan kemanusiaannya terkait pula dengan konteks ruang dan waktu yang luas.
Hal-hal
yang membedakan perhatian antropologi dari ilmu-ilmu sosial yang lain terletak
pada perhatian antropologi pada bidang-bidang berikut :
a.
Masalah
sejarah perkembangan manusia sebagai makhluk sosial,
b.
Keanekaragaman
manusia dari segi ciri tubuhnya,
c.
Penyebaran
warna bahasa berbagai suku bangsa,
d.
Keragaman
warna kebudayaan.
Antropologi
memiliki dua sisi holistik yakni meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap
dimensi kemanusiannya, karena antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk
biologis sekaligus makhluk sosial. Selain perbedaan fisik, manusia juga berbeda
dalam hal cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai yang dianut. Hal
inilah yang secara tradisional memisahkan antropologi dari disiplin ilmu sosial
dan kemanusiaan lainnya karena penekanannya pada perbandingan fisik, perilaku
kebudayaan yang lebih luas pada setiap kelompok manusia.
Antropologi
telah sampai pada suatu perkembangan yang luas, dan memasuki beberapa area
penelitian khusus, yang meliputi masalah-masalah berikut.
a.
Sejarah
asal dan perkembangan manusia secara biologis,
b.
Sejarah
terjadi dan perkembangan aneka ragam ras dan warna kulit, yang mendasarkan pada
ciri-ciri fisiknya,
c.
Sejarah
asal, perkembangan dan penyebaran aneka ragam warna bahasa yang digunakan
manusia di seluruh dunia,
d.
Sejarah
asal, perkembangan dan penyebaran aneka ragam kebudayaan manusia di seluruh
dunia,
e.
Asas-asas
kebudayaan manusia dalam kehidupan kemasyarakatannya.
3.
Ruang
Lingkup Antropologi
Berdasarkan
beberapa aspek yang menjadi tinjauan antropologi, tampak bahwa antropologi
memiliki bidang kajian yang sangat luas. Hal ini menyebabkan pemahaman terhadap
antropologi memerlukan pemahaman beberapa aspek dan konsep-konsep elementernya,
di samping bidang-bidang kajian tersebut. Peta konsep dari aspek-aspek yang
perlu dipelajari dalam rangka memahami antropologi, diuraikan berikut :
a.
Pemahaman
mengenai definisi atau pengertian antropologi sebagai sebuah istilah ilmu
pengetahuan. Hal ini dapat dipahami berdasarkan penelusuran pengertian
antropologi dari segi bahasa dan instilah,
b.
Pemahaman
manfaat antropologi baik dari segi pengembangan ilmu maupun dalam perikahirupan
sehari-hari. Bagian ini merupakan aspek yang ditujukan dalam rangka membangun
motivasi pembelajar mengenai manfaat-manfaat yang dapat dipetik melalui kajian
dan penelitian antropologi,
c.
Sejarah
antropologi yang membantu pembelajar memahami perkembangan antropologi dari
periode awal hingga perkembangan mutakhirnya,
d.
Aspek-aspek
kajian antropologi membantu pembelajar memahami dimensi bidang garap
antropologi yang membedakannya dari disiplin lain,
e.
Cabang-cabang
antropologi mengkaji pengkhususan-pengkhususan wilayah kajian antropologi hingga
sesuai dengan lapangan kajian dan urgensitas tertentu,
f.
Konsep-konsep
antropologi mengaji persepsi-persepsi atau asumsiasumsi dasar yang mendasari
pola kajian antropologi, terutama terkait dengan aspek-aspek kebudayaan yang
berhasil dikembangkan para tokohnya, antropolog,
g.
Metode
antropologi menyajikan berbagai pendekatan yang biasa digunakan untuk menelaah
antropologi sebagai sebuah lapangan kajian.
4.
Sejarah
Perkembangan Antropologi
Seperti
halnya ilmu-ilmu sosial lain antropologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan
mengalami perkembangan tahap demi tahap. Dalam hal ini Koentjaraninggrat
memetakan perkembangan antropologi ke dalam empat fase, yaitu fase pertama,
kedua ketiga dan keempat.
Fase
Pertama (Sebelum Tahun 1800-an)
Fase
pertama dimulai sekitar abad ke-15 dan 16, ketika bangsa-bangsa Eropa mulai
berlomba-lomba melakukan penjelajahan atau petualangan (piracy) ke berbagai
wilayah dunia di luar Eropa. Mereka mengarungi tujuh samudera dan bertemu
dengan bangsa-bangsa lain di Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia.
Fenomena-fenomena tersebut mereka catat dalam buku-buku harian maupun buku
kisah perjalanan. Hampir semua hal yang berkenaan dengan suku bangsa selain
Eropa tersebut mereka catat, terutama berkaitan dengan ciri-ciri fisik (ras),
bahasa, kebudayaan, susunan masyarakat dan pola hidupnya.
Catatan-catatan
tersebut selanjutnya dikenal dengan istilah etnografi atau deskripsi tentang
bangsa-bangsa. Catatan-catatan
etnografi tersebut menarik perhatian para pelajar Eropa, hingga meningkatkan
perhatian mereka terhadap suku-suku bangsa di luar Eropa. Hingga memasuki abad
ke-19 perhatian tersebut kian meningkat dengan adanya usaha-usaha untuk
mengintegrasikan seluruh himpunan catatan-catatan etnografi untuk dipelajari
secara ilmiah.
Fase
Kedua (Tahun 1800-an)
Pada
fase ini, bahan-bahan etnografi telah lahir dalam bentuk karangankarangan yang
disusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. Ada
keyakinan umum bahwa masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan
dan dalam jangka waktu yang lama, ditandai dengan munculnya beragam stereo type
terhadap berbagai bangsa di luar Eropa, seperti dengan digunakannya istilah
primitif, barbar, tertinggal dan sebagainya.
Mereka
menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang
tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya. Pada
fase ini, antropologi dbutirpatkan sebagai bidang ilmu pengetahuan yang ditujukan
dalam rangka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk
memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan
manusia.
Fase
Ketiga (Awal Abad 20-an)
Fase ini ditandai dengan kecenderungan
negara-negara Eropa berlombalomba membangun koloni di benua lain seperti Asia,
Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut,
muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli,
pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta
hambatan-hambatan lain. Untuk mengatasinya, pemerintahan-pemerintah kolonial
(Eropa) berupaya keras menemukan berbagai kelemahan suku-suku bangsa asli agar
mudah ditklukan. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang
suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, yang
seluruhnya ditujukan untuk mendukung kepentingan kolonial.
Fase
Keempat (Setelah Tahun 1930-an)
Fase
ini ditandai dengan mulai hilangnya kekhasan budaya berbagai suku bangsa akibat
pengaruh budaya Eropa pada daerah-daerah jajahan. Banyak bangsa di dunia yang
terbawa arus perubahan sosial, politik dan pemikiran yang terjadi di Eropa
akibat meluasnya paham-paham politik. Banyak bangsa semakin tercerabut dari
budaya aslinya, karena mengikuti perkembangan paham, budaya dan sistem politik
Eropa.
Banyak
komunitas suku bangsa terpecah-belah ke dalam kelompokkelompok penganut aliran
politik, seperti liberalisme, fasisme, marxisme dan sebagainya. Budaya-budaya
asli sebagaimana dikenal sebelum masa penjajahan banyak yang mengalami
perubahan, bahkan nyaris hilang sama sekali. Bahkan berbagai persoalan sosial
yang muncul di masyarakat d luar Eropa hampir seluruhnya tidak berbeda dari
yang berkembang di negaranegara Eropa sendiri.
Perang
Dunia I dan II yang sebenarnya perang antara bangsa Eropa sendiri, turut
dirasakan akibatnya oleh bangsa-bangsa di luar Eropa. Berbagai kehancuran,
kesengsaraan, kemiskinan dan kesenjangan sosial akibat peristiwa tersebut turut
dialami bangsa-bangsa jajahan. Perang dunia tersebut pada akhirnya membawa
banyak perubahan dalam kehidupan umat manusia, tidak hanya di Eropa sendiri,
melainkan juga di seluruh bangsa di luar Eropa. Munculnya semangat kebangsaan, nasionalisme,
menghinggapi banyak komunitas masyarakat jajahan dan menyuntikkan energi untuk
melepaskan diri dari dominasi bangsa Eropa.
Nasionalisme
yang berkembang meluas tidak lagi dalam batas suku bangsatertentu, melainkan
meliputi banyak suku bangsa. Hal ini dikarenakan batasbatas
kebangsaan
bukan terletak pada ikatan suku bangsa yang mendiami suatu wilayah, melainkan
pada wilayah jajahan. Dalam perkembangan selanjutnya, konteks kebudayaan tidak
lagi hanya dipahami sebagai pola sikap dan perilaku bangsa-bangsa terasing,
melainkan memasuki konteks yang lebih luas. Sebagian di antara konteks tersebut
adalah budaya-budaya baru yang terbentuk akibat perkembangan modernitas. Sebagian
di antara budaya-budaya tersebut bahkan tidak dikenal pada masa sebelumnya,
seperti budaya politik, budaya perkotaan, budaya pelajar SLTA dan mahasiswa dan
mahasiswi, budaya kerja, budaya hippies dan sebagainya.
5.
Cabang-cabang
Antroplogi
a.
Antropologi
Fisik
Antropologi
fisik adalah bidang kajian antropologi yang menaruh perhatian khusus pada sisi
fisik manusia. Bidang antropologi ini mempelajari gen-gen yang menentukan
struktur tubuh manusia. Bidang tersebut mempelajari perkembangan manusia sejak
manusia itu mulai ada di bumi sampai sekarang. Bidang antropologi ini pada
umumnya banyak melakukan penelitian forensik terhadap fosil-fosil manusia
terdahulu. Temuan-temuan dalam bidang ini telah banyak menyumbangkan penjelasan
berkenaan dengan perkembangan struktur dan bentuk fisik manusia. Saat ini,
ahli-ahli antropologi masih selalu diperkukan dalam menganalisis kasus-kasus
yang membutuhkan analisis forensik. Mereka bahkan tidak jarang hadir di
pengadilan dalam rangka memberikan keterangan forensik berkenaan dengan
kasus-kasus kriminal tertentu.
b.
Arkeologi
Arkeologi
merupakan salah satu cabang antropologi yang berusaha menjelaskan benda-benda
dan fosil-fosil makhluk hidup, termasuk manusia di masa lalu. Ahli arkeologi
selalu terlibat dalam kegiatan pencarian benda-benda bersejarah peninggalan
manusia masa lampau. Mereka banyak melakukan penggalian untuk menemukan
sisa-sisa peralatan hidup atau senjata. Melalui fosil-fosil dan
peninggalan-peninggal benda-benda bersejarah mereka dapat merekonstruksi
bentu-bentuk, model-model, bahkan peristiwa dan pola hidup manusia masa lalu.
Berdasarkan hasil rekonstruksi mereka berbagai benda dan poha hidup manusia
masa lalu dapat mereka gambarkan. Selain untuk mengisi museum-museum, hasil
kerja mereka banyak membantu sejarawan merekonstruksi peristiwa-peristiwa
bersejarah.
c.
Antropologi
Sosial-Budaya
Antropologi
sosial-budaya lebih sering disebut dengan antropologi budaya. Bidang
antropologi ini berhubungan erat dengan etnologi. Bidang ilmu ini mempelajari
tingkah laku manusia, baik individu ataupun kelompok. Tingkah laku yang
dipelajari bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan panca indera. Lebih
dari itu, penelitian antropologi budaya juga berusaha memahami sesuatu yang ada
dalam pikiran manusia. Pola
perilaku manusia pada dasarnya bukan sesuatu yang semata berjalan secara
mekanistik, melainkan karena kesadaran atau pola pikir yang terbangun oleh
proses belajar dan hasil interaksi sosial, meski perilaku tersebut kadang
dilakukan manusia secara tanpa disadari. Misalnya, seorang pengendara motor
berhenti saat lampu merah menyala. Pada dasarnya laju kendaraan mereka terhenti
bukan karena nyala lampu merah, melainkan karena ada kesadaran, atau minimal
ada kebiasaan mereka menghentikan kendaraan bilamana lampu merah menyala, atau
karena takut ditangkap polisi bila berjalan, atau dapat juga karena khawatir
terjadi kecelakaan atau karena alasan-alasan tertentu baik yang dia sadari atau
tidak.
Alam
pikiran atau kesadaran seperti inilah yang oleh para antropolog disebut dengan
kebudayaan. Setiap kelompok manusia diyakini memiliki kebiasaankebiasaan tertentu
yang berpola khas dan menjadi kebiasaan umum dalam kelompoknya. Hal ini dapat
dicermati pada perilaku masyarakat dalam berbagai hal, mulai dari cara mereka
beragama, menjalankan kegiatan sosial, belajar-mengajar, menyeberang jalan dan
sebagainya. Masyarakat dengan kesadaran tertentu akan memilih berbuat atau
tidak berbuat sesuatu, memilih cara tertentu atau cara lain, memilih bersikap
tertentu atau sikap lainnya. Kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia semacam
inilah yang merupakan objek formal penelitian-penelitian antropologi sosial
budaya. Antropologi sosial-budaya dalam perkembangannya terpecah ke dalam bentuk-bentuk
spesialisasi atau pengkhususan disesuaikan dengan bidang kajian yang
dipelajari.
6.
Konsep-konsep
Antropologi
Sebagai
sebuah perspektif keilmuan, dalam antropologi terdapat beberapa konsep yang
mendasari asumsi ataupun perspektif keilmuannya. Masingmasing konsep berkembang
dengan kelebihan dan kekurangannya. Di antara konsep-konsep antropologi yang
berkembang adalah konsep evolusi sosial universal, konsep kulturkreis dan kulturschicht,
Konsep daerah kebudayaan (culture area) dan Konsep daerah kebudayaan (culture
area).
a.
Konsep
evolusi sosial universal
Konsep
ini diperkenalkan oleh H. Spencer. Seluruh alam baik organis, nonorganis,
maupun superorganis senantiasa berevolusi. Evolusi tersebut didorong oleh
kekuatan mutlak yang disebut evolusi universal. Gambaran menyeluruh tentang
evolusi universal manusia memperlihatkan bahwa dalam garis besaarnya
perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari tiap bangsa di dunia telah atau
sedang melalui tingkat-tingkat evolusi yang sama. Meski demikian tak dapat
diabaikan bahwa secara khusus tiap bagian masyarakat atau sub-sub kebudayaan
bisa mengalami proses evolusi serupa. Konsep mengenai proses evolusi tersebut
sama sebagaimana konsep evolusi pada umumnya. Seperti halnya proses evolusi
biologi, jenis-jenis makhluk yang bisa hidup adalah jenis-jenis yang sesuai
dengan persyaratan lingkungan alamnya. Dalam evolusi sosial, aturan-aturan
hidup manusia serta hukum yang dapat bertahan di dalamnya adalah hukum yang
melindungi kebutuhan warganya; yakni hukum yang paling cocok dengan persyaratan
masyarakat di mana mereka hidup; hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
yang menempatkan masyarakat sebagai pihak yang paling berkuasa, yang paling
pandai, dan yang paling mampu. Kurang lebih pandangan ini sama dengan pandangan
hukum evolusi dengan adagiumnya yang paling terkenal, survival of the fittest,
siapa yang kuat dia yang bertahan. Jenis atau individu dapat bertahan adalah
mereka yang mempunyai ciri-ciri yang sesuai dengan lingkungannya.
b.
Konsep
kulturkreis dan kulturschicht
Konsep
ini diperkenalkan oleh F. Graebner. Graebner menawarkan suatu cara baru untuk
menyusun benda-benda kebudayaan di museum. Biasanya benda-benda tersebut
disusun menurut asalnya, tetapi oleh Graebner disusun berdasarkan persamaan
dari unsur-unsur tersebut. Metode klasifikasi unsur-unsur kebudayaan dari
berbagai tempat di muka bumi ke dalam kulturkreise tersebut dilakukan dengan
tahap-tahap berikut :
1)
Pertama-tama
seorang peneliti harus melihat tempat-tempat di muka bumi yang terdapat
unsur-unsur kebudayaan yang sama. Peneliti kemudian melihat apakah di suatu
daerah terdapat unsur-unsur lain yang sama dengan unsur-unsur kebudayaan di
daerah yang lain. Alasan pembandingan berupa suatu kuantitas dari berbagai
unsur kebudayaan disebut Quantitas Kriterium. Tiap-tiap kelompok dari
unsur-unsur yang sama tadi masing-masing disebut Kulturkompleks.
2)
Pada
tahap berikutnya, peneliti menggolongkan semua tempat yang menjadi pembanding
tersebut menjadi satu, seolah-olah memasukkan tempat-tempat tersebut ke dalam
satu lingkaran peta bumi. Tempat-tempat tadi dikelompokkan menjadi satu
Kulturkreis. Melalui prosedur tersebut, akan tergambar berbagai
kulturkreise,yang saling berpadu dan bersilangan di atas peta bumi. Dari sana
akan tampak gambaran penyebaran atau difusi dari unsur-unsur kebudayaan di masa
yang lampau. Dengan klasifikasi kulturkreise itulah Kulturhistorie umat manusia
direkonstruksikan dan memperlihatkan sejarah penyebaran bangsabangsa di muka
bumi.
c.
Konsep
daerah kebudayaan (culture area)
Konsep
Culture Area dicetuskan oleh Wissler. Culture Area dikembangkan berdasarkan
pembagian kebudayaan-kebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah yang
merupakan kesatuan corak kebudayaan tertentu. Konsep Culture Area dikembangkan
karena keinginan Wissler mengklasifikasikan benda-benda dari
kebudayaan-kebudayaan suku bangsa Indian yang tinggal terpencar di Benua
Amerika Utara ke dalam kelompok-kelompok tertentu dalam rangka pameran di
museum.
Dalam
satu Culture Area diggolongkan berpuluh-puluh kebudayaan yang berbeda satu sama
lain ke dalam satu kelompok berdasarkan atas persamaan dari sejumlah ciri yang
mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut. Ciri-ciri itu tidak hanya berupa
unsur kebendaan, seperti alat-alat berburu, alat-alat bertani, senjata,
ornamen, bentuk dan gaya pakaian, bentuk tempat kediaman dan sebagainya,
melainkan juga unsur-unsur yang lebih abstrak, seperti unsur-unsur sistem
organisasi sosial, dasar-dasar mata pencaharian hidup, sistem perekonomian,
upacara keagamaan, dansebagainya.
d.
Konsep
azas klasifikasi elementer
Konsep
ini dikembangkan oleh Levi-Strauss. Menurutnya, dalam akal pikiran manusia
secara universal merasakan dirinya berhubungan dengan hal-hal tertentu dalam
alam semesta sekelilingnya, atau dengan manusia-manusia tertentu dalam
lingkungan sosial-budayanya. Manusia merasa dirinya berototeman (dalam bahasa
Ojibwa berarti “dia adalah kerabat pria saya”) dengan hal-hal itu. Dalam
hubungan itu manusia mengklasifikasikan lingkungan alam serta sosial budayanya
ke dalam kategori-kategori yang elementer.
Metode
Levi-Strauss menganalisa gejala-gejala sosial yang menurut pengertiannya berakar
dalam cara-cara berpikir elementer dari akal manusia untuk menggolongkan
individu atau kelompok dengan lingkungan alam atau lingkungan sekitarnya.
Selain itu, pendirian Levi-Strauss mengenai cara-cara logika elementer dari
akal manusia itu digunakan untuk mengklasifikasikan alam semesta dan masyarakat
sekitarnya ke dalam beberapa kategori dasar. Usaha Levi-Strauss dilakukan dalam
rangka menganalisa sistem-sistem kekerabatan dan mitologi. Ia tidak bermaksud
mencari azas-azas universal dari proses-proses berpikir simbolik yang
menyebabkan sistem kekerabatan di dunia hidup dan berlangsungnya suatu
kebiasaan. Dalam analisa Levi-Strauss mengenai sistem kekerabatan, ia
mengaitkan sistem-sistem kekerabatan itu dengan masyarakat dan kebudayaan yang
bersangkutan.
7.
Antropologi
dan Ilmu-ilmu Sosial
Antropologi
memiliki kaitan erat dengan bidang-bidang keilmuan lain. Kaitan tersebut tidak
hanya dalam rangka mengembangkan kajian antropologi. Bahkan sebaliknya,
antropologi menjadi perangkat penting yang diperlukan dalam kajian dan
pengembangan bidang-bidang keilmuan lainnya. Kaitan tersbeut dapat ditelusuri
pada hubungan antropologi dengan beberapa bidang keilmuan berikut.
8.
Antropologi
dan Psikologi
Seorang
psikolog memerlukan pemahaman antropologi secara memadai. Psikologi adalah ilmu
yang mempelajari perilaku dan pikiran manusia, sedangkan antropologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang manusia dan masyarakat, baik yang masih hidup
maupun yang sudah mati, baik yang masih ada maupun yang sudah punah. Dalam
mempelajari perilaku individu maupun masyarakat, terlebih dahulu psikolog perlu
mengetahui kebudayaan yang berlaku di lingkungan individu tersebut. Hal ini
dikarenakan dalam setiap kebudayaan terdapat perilaku atau kebiasaan
berbeda-beda yang mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan ataupun perilaku seseorang.
Sifat kepribadian individu mungkin menjadi penyebab hubungan tertentu antara
beberapa pola kebudayaan. Kebudayaan tertentu sangat mungkin menghasilkan
karakteristik psikis tertentu, yang pada gilirannya menimbulkan ciri budaya
lainnya. Pendekatan psikologis dalam antropologi budaya menghubungkan
variasi-variasi dalam pola-pola budaya dengan pengasuhan anak, kepribadian,
kebiasaan, dan kepercayaan yang mungkin menjadi konsekuensi dari faktor
psikologis dan prosesnya. Hubungan psikologi dengan antropologi juga telah
memunculkan cabang baru, yaitu antropology in mental health. Bidang penelitian
dan pembahasan antropologi ini lebih difokuskan pada emosi-emosi tertekan. Di
antara berbagai penyakit jiwa yang diobati oleh para psikiater, ternyata ada
yang tidak disebabkan oleh kelainan-kelainan biologis atau kerusakan organis,
melainkan akibat tekanan jiwa dan emosi yang diakibatkan oleh masalahmasalah
sosial-budaya.
9.
Antropologi
dan Sejarah
Antropologi
memiliki kaitan erat dengan studi sejarah. Bukti-bukti dan berbagai perangkat
yang diperlukan dalam memahami peristiwa-peristiwa masa lalu sangat ditentukan
oleh hasil kerja hampir seluruh cabang antropologi. Arkeologi menyediakan
bukti-bukti materiil sejarah, etnolinguistik membantu menelusuri perkembangan
bahasa. Bahkan pemahaman sejarah sejarah ideal bahkan mengharuskan kemampuan
untuk mendeskripsikan situasi sosial-budaya yang menjadi konteks terjadinya
suatu peristiwa. Sementara bagian ini hampir seluruhnya merupakan wilayah
garapan antropologi.
10.
Antropologi
dan Politik
Meski
bukan segalanya, dan bukan satu-satunya pendekatan, antropologi merupakan
perangkat penting dalam memahami persoalan-persoalan politik. Peristiwa politik
pada kenyataannya tidak hanya dapat disandarkan pada variabel-variabel
kepentingan semata. Pemahaman atas peristiwa politik tertentu bahkan lebih
sering tidak dapat dilepaskan dari persoalan budaya dan kesejarahan suatu
komunitas masyarakat. Dalam konteks ini, antropologi boleh dikata menjadi
perangkat penting dalam analisis politik, tetapi bukan sebaliknya.
11.
Antropologi
dan Ekonomi
Dalam
perspektif antropologi, masalah-masalah ekonomi, termasuk variabelvariabel yang
mempengaruhi dinamikanya sebenarnya tidak semata-mata masalah ketersediaan
modal. Masalah ekonomi juga terkait dengan masalah pola pikir, pola perilaku
dan gaya hidup, yang seluruhnya merupakan bagian dari masalah penting yang
menjadi perhatian antropologi. Analisis terhadap ekonomi, apalagi bilamana
terkait dengan penentuan strategi dan kebijakan ekonomi sangat tidak bijak
bilamana mengabaikan eksistensi antropologi sebagai salah satu perangkat utama
dalam menganalisisnya.
12.
Antropologi
dan Pendidikan
Masalah-masalah
pendidikan selama ini lebih banyak didekati secara didaktikmetodik. Masalah
pilihan metode, strategi dan perangkat-perangkat pembelajaran sering dijadikan
instrumen utama dalam menganalisis dan memecahkan persoalan-persoalan
pendidikan. Padahal, sebenarnya lingkup persoalan pendidikan tidak hanya
menyangkut masalah didaktik-metodik semata. Bahkan boleh dibilang, aspek
didaktik-metodik sebenarnya merupakan unsur yang sifatnya teknis dan
operasional hingga tidak terlalu membutuhkan analisis yang terlalu rumit.
Aspek
yang sering diabaikan adalah dimensi antropologis pendidikan. Melihat pendidikan
dari faktor manusia mestinya menjadi pusat perhatian ilmu pendidikan. Hal ini
dikarenakan pendidikan pada dasarnya terarah pada upaya “memproduk” manusia
dari “bahan baku” manusia dengan memanfaatkan manusia pula sebagai “mesin
produksi”. Manusia dengan dimensi kemanusiaan yang luas mestinya memperoileh
porsi perhatian yang jauh lebih luas dan mendalam dalam rangka penyelesaian
masalah-masalah pendidikan. Pilihan masyarakat pada suatu jenis pendidikan,
pandangan dan kepedulian masyarakat terhadap pendidikan, pandangan siswa
terhadap belajar, hingga pola pikir dan pola kerja guru mestinya perlu
memperoleh perhatian serius dalam rangka mengurai rumitnya persoalan
pendidikan. Sementara hal-hal tersebut tidak lain merupakan bagian dari bidang
garap antropologi. Mengabaikan antropologi dalam menganalisis dan menyelesaikan
persoalan pendidikan akan mengantarkan pada analisis dan pembenahan yang
artifisial saja.
C.
LATIHAN
Bacalah
dan analisis
kasus di bawah berdasarkan konsep budaya/antropologi !
Kasus
Dahulu
sebuah keluarga lebih sering memprioritaskan laki-laki untuk menempuh
pendidikan dibanding anak perempuan. Sekarang kecenderungan demikian semakin
berkurang bahkan hilang.
a.
Jelaskan
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut!
b.
Jelaskan,
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pandangan masyarakat terhadap
pendidikan bagi anak perempuan.
D. RANGKUMAN
- Antropologi adalah sebuah bidang ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman budaya fisik dan non-fisik, serta kebudayaan yang dihasilkannya hingga menimbulkan perbedaan-perbedaan pada sekelompok manusia satu dengan lainnya.
- Aspek-aspek kajian antropologi meliputi: Sejarah asal dan perkembangan manusia secara biologis yangd dipelajari oleh Paleo-antropologi, sejarah terjadi dan perkembangan aneka ragam ras dan warna kulit, yang mendasarkan pada ciri-ciri fisiknya yang dipelajari oleh Antropologi fisik, sejarah asal, perkembangan dan penyebaran aneka ragam warna bahasa yang digunakan manusia di seluruh dunia yang dipelajari oleh Etnoliguistik, sejarah asal, perkembangan dan penyebaran aneka ragam kebudayaan manusia di seluruh dunia yang dipelajari oleh Prehistori, serta asas-asas kebudayaan manusia dalam kehidupan kemasyarakatannya yang dipelajari oleh Etnologi.
- Antropologi berkembang ke dalam beberapa cabang keilmuan yang secara garis besar dapat dipilahkan ke dalam tiga bidang spesialisasi, yakni antropologi fisik, arkeologi dan antropologi sosial-budaya. Dari sini antropologi masih berkembang pada bidang kajian yang lebih spesifik seperti antropologi hukum, ekonomi, politik pendidikan dan sebagainya.
- Beberapa konsep antropologi yakni konsep evolusi sosial universal, konsep kulturkreis dan kulturschicht, Konsep daerah kebudayaan (culture area) dan Konsep azas klasifikasi elementer.
- Kebudayaan merupakan seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Dalam ungkapan sederhana kebudayaan sering didefinisikan sebagai hasil cipta, karya dan karsa manusia. Secara konseptual, kebudayaan mengenal 4 konsep dasar, yaitu: Diperoleh dari belajar, milik bersama, kebudayaan adalah pola, serta bersifat dinamis dan adaptif.
- Antropologi memiliki kaitan erat dengan ilmu-ilmu sosial, baik dalam rangka
- mengembangkan kajian antropologi maupun perangkat pengembangan
- ilmu sosial, seperti psikologi, sejarah, politik, ekonomi hingga ilmu pendidikan.
E.
PENILAIAN
- Jelaskan secara singkat pengertian, ruang lingkup, dan tujuan antropologi ! (bobot : 30)
- Jelaskan secara singkat konsep-konsep dasar antropologi ! (bobot : 30)
- Berilah satu contoh penerapan konsep dasar antropologi dalam kehidupan di masyarakat ! (bobot : 40)
DAFTAR
PUSTAKA
Baal, J. Van. 1987. Sejarah Teori
Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.
Benedict, Ruth. 1980. Patterns of Culture.
Boston: Houghton Mifflin Co.
Fathoni, Abdurrahmad. 2006. Antropologi
Sosial Budaya: Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Harris, Marvin. 1988. Culture, People,
Nature; An Introduction to General Anthropology. New York: Harper and Row
Publishers.
Jurnal Antropologi Papua, Vol. 1, No. 1,
Agustus 2002.
Koentjaraningrat. 1989. Pengantar Ilmu
Antropologi, Jilid I dan II. Jakarta: Aksara Baru.
Syam, Nur. 2007. Madzhab-Madzhab
Antropologi. Yogyakarta: LkiS.
Van
Peursen, C.A. 1983. Strategi Kebudayaan. Terj. Dick Hartoko.
Yogyakarta: BPK Gunung Mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar