Blogger Widgets

IsdiQLia

Minggu, 14 Desember 2014

LATAR BELAKANG LAHIRNYA ILMU PENGETAHUAN SOSIAL ( IPS)



 

A.    Pengantar

Uraian materi pada  bab ini merupakan kelanjutan dari bab sebelumnya yang akan membahas tentang  sejarah lahirnya IPS di beberapa negara dan di Indonesia.  Pembahasan tentang sejarah lahirnya IPS akan memeberikan gambaran pada mahasiswa mengenai latar belakang  IPS menjadi bagian dari materi yang penting untuk dipelajari oleh mahasiswa, terutama calon guru IPS.
 Setelah mempelajari bab ini, Mahasiswa-mahasiswi diharapkan mampu memahami  latar belakang lahirnya IPS, dan secara lebih spesifik diakhir perkuliahan mahasiswa-mahasiswi diharapkan dapat:1) . menguraikan latar belakang lahirnya IPS, 2) perkembangan IPS di Indonesia dan 3) menjelaskan tradisi pembelajaran IPS di Indonesia.

 B. Uraian Materi

1.      Latar Belakang Lahirnya IPS

Ide IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat adalah social studies. Istilah tersebut pertama kali digunakan sebagai nama sebuah lembaga yang diberi nama committee of social studies. Lembaga ini merupakan himpunan tenaga ahli yang berminat pada kurikulum ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah dan ahli-ahli ilmu sosial yang mempunyai minat yang sama.
Nama lembaga ini kemudian dipergunakan untuk nama kurikulum yang mereka hasilkan, yakni kurikulum social studies. Nama social studies makin terkenal ketika pemerintah mulai memberikan dana untuk mengembangkan kurikulum tersebut. Kurikulum tersebut ahirnya dikembangkan dengan nama kurikulum social studies.
Sebagai sebuah disiplin keilmuan yang menarik minat banyak kalangan pemerhati kemanusiaan, sosial studies berkembang dan dikaji dibanyak negara. Termasuk di Indonesia sosial studies dikaji sebagai sebuah disiplin keilmuan disesuaikan dengan kondisi dan karateristik bangsa Indonesia. Di Indonesia social studies dikenal dengan nama studi sosial.  Dalam perkembangannya studi sosial dimasukkan dalam kurikulum untuk dipelajari oleh peserta didik mulai dari jenjang Pendidikan dasar sampa perguruan tinggi. Secara lebih spesifik studi sosial mulai dimuat dalam Kurikulum 1975 dengan nama Ilmu pengetahuan Sosial (IPS). IPS merupakan sebuah mata pelajaran yang dipelajari dari tingkat pendidikan dasar sampai
dengan pendidikan tinggi pada jurusan atau program studi tertentu.
Agar uraian mengenai latar belakang lahirnya IPS lebih jelas, dalam paket ini dikemukakan pengalaman beberapa negara yang memasukan IPS ke dalam kurikulum pendidikan yang diajarkan kepada siswa-siswi. Pembahasan mengenai latar belakang lahirnya IPS akan dilihat dari dua aspek, yakni latar belakang sosiologis dan pedagogis dengan mempertimbangkan aspek kemasyarakatan dan ilmu-ilmu sosial yang dikaji dalam IPS.

  1. Latar Belakang Sosiologis

Tinjauan terhadap latar belakang sosiologis difokuskan pada tempat lahirnya IPS yang pada awalnya bernama social studies. IPS dengan nama social studies pertama kali digunakan dalam kurikulum sekolah Rugby di Inggris pada tahun 1827. Dr. Thomas Arnold, direktur sekolah tersebut adalah orang pertama yang berjasa memasukkan IPS (social studies) ke dalam kurikulum sekolah.
Latar belakang dimasukkannya IPS ke dalam kurikulum sekolah berangkat dari kondisi masyarakat Inggris pada waktu itu yang tengah mengalami kekacauan akibat revolusi industri yang melanda negara itu. Masyarakat dan peradaban Inggris terancam dekadensi, karena mekanisasi industri telah menimbulkan kesulitan besar bagi masyarakat Inggris, terutama kaum buruh. Kaum kapitalis dan pemerintah yang kurang memperhatikan nasib kaum
buruh yang mengakibatkan terjadinya pemerasan dan penindasan. Selain itu, di Inggris juga terjadi persaingan di kalangan buruh sendiri, yang menyebabkan hidup kaum tidak punya (the haves not) menjadi sangat menderita. Kehidupan antar kaum buruh dan antara buruh dengan majikan digambarkan oleh filosuf Inggris Thomas Hobbes sebagai homo homoni lopus bellum omnium contra omnes
( manusia adalah srigala bagi yang lain, mereka saling berperang).
Singkatnya, manusia menjadi kehilangan kemanusiaannya (dehumanisasi).Sebagai respon terhadap keadaan yang demikian ironis, Arnold memasukkan IPS ke dalam kurikulum sekolahnya. Upayanya kemudian ditiru oleh banyak sekolah lainnya, dan sekaligus menjadi awal berkembangnya IPS sebagai matapelajaran di sekolah.
Latar belakang munculnya IPS di Amerika Serikat berbeda dari Inggris. Setelah Perang Budak atau Perang Saudara antara penduduk Utara-Selatan (1861-1865), di Amerika terjadi kekacauan sosial. Masyarakat Amerika Serikat yang sangat beragam belum merasa menjadi satu bangsa. Segregasi sosial masih kental dan lekat dengan kehidupan masyarakat Amerika pada saat itu. Sebagai respon atas keadaan masyarakat tersebut, para ahli kemasyarakatan Amerika Serikat mencari upaya untuk membantu proses pembentukan bangsa Amerika Serikat, antara lain dengan mengembangkan IPS sebagai jawaban atas situasi sosial. IPS dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, yang dipeopori oleh sekolahsekolah di negara bagian Wisconsin sejak 1892. Setelah dipelajari secara terus menerus
sampai awal dasa warsa abad ke-20, pada tahun 1916 panitia nasional untuk pendidikan menengah Amerika Serikat menyetujui pengembangan dan pemasukan IPS ke dalam kurikulum sekolah.
Paparan tersebut menggambarkan bahwa situasi masyarakat di Inggris pada tahun 1827, yaitu awal industri modern, mirip dengan keadaan masyarakat Indonesia dewasa ini. Industri sedang berkembang dan tanda-tanda dehumanisasi nampak pula di Indonesia. Di antara indikator yang menunjukkan kemiripan tersebut adalah terjadinya berbagai tindak kejahatan, seperti perampokan yang disertai pembunuhan, kurang terjaminnya kaum buruh, individualisme yang mulai menggerayangi masyarakat perkotaan, tindakan mengobyekkan para penganggur dan pencari pekerjaan melalui human trafficing, terdesaknya alat-alat produksi tradisional oleh alat produksi buatan negara asing, dan penumpukan kekayaan pada golongan minoritas. Keadaan masyarakat yang demikian mengingatkan pada betapa pentingnya pembentukan jiwa sosial yang humanis sedini mungkin melalui pembelajaran IPS di sekolah-sekolah.

  1. Latar belakang Pedagogis

Di samping sebagai reaksi atas keadaan masyarakat, seperti di Inggris, Amerika, dan Indonesia, lahirnya IPS juga dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menyiapkan peserta didik agar menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab, yakni dapat mewujudkan kewajiban dan hak-haknya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mempelajari IPS, peserta didik diharapkan akan menjadi warga masyarakat yang tidak individualistik, yang hanya mementingkan kebutuhan sendiri, dan mengesampingkan kebutuhan orang lain atau warga masyarakat lainnya. Sebaliknya, mereka diharapkan menjadi warga masyarakat yang memiliki watak sosial yang selalu sadar bahwa hidupnya hanya dapat berlangsung bersama dan bekerja sama dengan orang lain, dan orang lain hanya mau hidup bersama dan bekerja sama bila mendapat perlakuan yang baik dari mereka.
Dalam kaitan ini, ilmu-ilmu sosial tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, karena sifat ilmiah yang dimiliki oleh ilmu-ilmu sosial tersebut. Peserta didik yang menjadi warga masyarakat, sementara mereka baru lulus dari jenjang pendidikan dasar dan menengah, memerlukan pengetahuan interdisipliner yang pragmatis dan praktis bagi kehidupan sosialnya. Dalam teori pendidikan digambarkan bahwa peserta didik dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh menyeluruh. Dalam kehidupan, mereka tidak memisahkan suatu aspek kehidupan dari aspek kehidupan yang lain. Aspek geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi, antropologi, politik dan
sosial lainnya tidak terpisahkan dalam kehidupan sosial seseorang, bahkan saling terkait dan berhubungan. Oleh karena itu, dalam menggambarkan keadaan manyarakat sebaiknya para guru menggambarkan keadaan masyarakat sebagai suatu kesatuan dan keutuhan. Disiplin ilmu-ilmu sosial dipandang tidak mendukung prinsip pedagogis di atas, karena berbagai disiplin itu membawa masyarakat dalam keadaan terpisahpisah. Pengajaran IPS juga lebih dekat dengan keadaan sekarang yang ada dalam lingkungan hidupnya. Dengan demikian tidaklah terlalu sukar bagi peserta didik untuk mengamati, menggambarkan dan memikirkannya, karena masih berada dalam jangkauan mereka, baik dari segi waktu maupun tempatnya. Bahan dan materi IPS merupakan kenyataan hidup yang dialami oleh peserta didik saat ini (kontekstual). Peserta didik diharapkan tertarik dan berminat mempelajari IPS, karena mereka belajar dengan memperoleh pengalaman dari kehidupan mereka sendiri, dan pengalaman atas kehidupan nyata merupakan proses belajar yang paling baik. Dengan demikian, hasil belajar yang paling baikpun dapat diharapkan pula. Pendapat lain menyatakan bahwa dengan IPS, pengajaran tentang kehidupan sosial dapat berlansung secara lebih efisien, karena seluruh aspek kehidupan disajikan sekaligus. Dalam satu kali jangkau, seluruh segi kehidupan dapat dipelajari oleh peserta didik. Kebenaran yang diperoleh peserta didik akan lebih besar pula, karena mereka tidak melihat masyarakat bagian per-bagian, tetapi menyeluruh. Itulah latar belakang pedagogis dikembangnya IPS. Mengingat berbagai kemiripan dan kegunaanya bagi pembinaan masyarakat Indonesia, maka pengembangan IPS di dunia pendidikan di Indonesia merupakan kebutuhan pedagogis sebagaimana halnya pengalaman di Inggris dan Amerika Serikat sebagai wahana pembinaan sikap sosial bagi peserta didik.

2.      Perkembangan IPS di Indonesia

IPS sebagai sebuah bidang keilmuan yang dinamis, karena mempelajari tentang keadaan masyarakat yang cepat perkembangannya, tidak lepas dari perkembangan. Pengembangan kurikulum IPS merupakan jawaban terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat yang akan mempelajarinya. Perkembangan IPS di Indonesia dilatarbelakangi oleh beberapa hal berikut. Segi lain yang menyebabkan dikembangkannya kurikulum IPS sebagai mata pelajaran wajib bagi setiap anak didik adalah menyiapkan mereka kelak apabila terjun ke dalam kehidupan masyarakat. Sejak diberlakukan kurikulum tahun 1964 sampai kurikulum 1968, program pengajaran ilmu-ilmu sosial masih menggunakan cara-cara (pendekatan) tradisional. Ilmu sosial seperti sejarah, geografi (ilmu bumi) dan ekonomi masih disajikan secara terpisah. Sejumlah ahli menyadari bahwa sebenarnya sistem tersebut telah usang dan tidak relevan.
a.       Pengalaman hidup masa lampau dengan situasi sosialnya yang labil memerlukan masa depan yang lebih mantap dan utuh sebagai suatu bangsa yang bulat.
b.      Laju perkembangan pendidikan, teknologi, dan budaya Indonesia memerlukan kebijakan pendidikan pengajaran yang seirama dengan laju perkembangan tersebut.
c.       Agar output pendidikan persekolahan benar-benar lebih relevan dengan tuntutan masyarakat yang ia akan menjadi bagiannya dan materi yang dimuat dalam kurikulum atau dipelajari peserta didik dapat bermanfaat.
Terkait dengan pengembangan kurikulum IPS, seorang ahli pendidikan, guru besar pada IKIP Malang, Prof. Dr. Soepartinah Pakasi, dapat dianggap sebagai penganut social studies yang pertama di Indonesia. Pada tahun 1968 beliau menerapkan pola pengajaran social studies pada sekolah percobaan IKIP Malang yang dipimpinnya. Dalam penerapannya, guru-guru social studies di sekolah-sekolah tersebut di samping diberi pedoman pelatihan keterampilan secara khusus juga didampingi oleh sebuah regu dosen jurusan sejarah, geografi dan ekonomi.
Dalam lingkup nasional ide-ide untuk menerapkan pengajaran sosial studies mulai ramai diperbincangkan sekitar tahun 1971/1972. Untuk menyongsong dilaksanakannya pengajaran social studies, telah dilaksanakan seminar sosial seperti “Seminar Sejarah” di Yogyakarta pada ahun 1971,“Seminar Geografi” di Semarang pada tahun 1972, dan “Seminar Kependudukan” di Bandung pada tahun 1973. Pada tahun 1972, oleh Badan Penelitian Pendidikan (sekarang menjadi Badan Penelitian Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan = BP3K), di Jakarta diselenggarakan pertemuan para ahli pendidikan berbagai disiplin ilmu dari IKIP dan lembaga-lembaga lain untuk membahas masalah rencana pembaharuan kurikulum sekolah di Indonesia. Pertemuan tersebut menyepakati penerapan prinsip kerja kurikulum Broadfield untuk mata pelajaran ilmu-ilmu sosial, yaitu sistem kurikulum yang mengelompokkan mata pelajaran sejenis yang menjadi satu bidang studi. Disepakati pula untuk mata pelejaran kemasyarakatan (ilmu sosial) seperti sejarah, geografi, ekonomi dan lain-lain dikelompokkan (di padukan) dalam satu bidang studi dengan nama Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Pemaduan ilmu-ilmu sosial menjadi bidang studi IPS di terapkan pada Kurikulum 1974 untuk 8 buah proyek perintis sekolah pembangunan (PPSP) . Setahun kemudian nama bidang studi IPS resmi memperoleh status formal melalui pembakuan Kurikulum 1975 untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah.

3.      Tiga Tradisi Pembelajaran IPS

Pembelajaran IPS memiliki tiga tradisi yang berbeda satu dengan yang lain.Ketiga tradisi tersebut adalah: Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan, Pembelajaran IPS sebagai ilmu sosial, dan Pembelajaran IPS sebagai inkuiri yang reflektif. Gambaran tentang ketiga tradisi pembelajaran IPS tersebut akan dipaparkan
dalam bahasan berikut.

  1. Pembelajaran IPS sebagai Transmisi Kewarganegaraan

Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan merupakan strategi pengajaran IPS yang berhubungan dengan penanaman tingkah laku, pengetahuan, pandangan, dan nilai yang harus dimiliki oleh peserta didik. Tingkah laku, pengetahuan, pandangan dan nilai yang akan diajarkan harus sesuai dengan kekayaan nilai-nilai budaya yang berkembang di lingkungan peserta didik dan guru yang mengajarkan IPS. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat dapat ditransmisikan dari generasi ke generasi.
Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan merupakan proses pewarisan budaya dalam suatu masyarakat tertentu. Pewarisan budaya ini merupakan budaya yang memilki nilai-nilai yang baik dan disepakati oleh masyarakat.
Pembelajaran IPS model transmisi kewarganegaraan di Amerika Serikat bertujuan membina warga negara agar dapat memenuhi kewajiban dan tanggung jawab yang baik, taat kepada hukum, membayar pajak, memenuhi kewajiban belajar, dan memiliki dorongan diri yang kuat untuk mempertahankan negara (Sumaatmadja,1980). Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan juga merupakan suatu proses pewarisan budaya dalam suatu masyarakat tertentu. Pewarisan budaya ini tentu merupakan budaya yang memilki nilai-nilai yang baik dan disepakati oleh masyarakat, sehingga dapat membentuk warga negara yang dapat memenuhi kewajiban, taat pada hukum, dan bertanggung jawab dalam pembelaan negara.
Tradisi pembelajaran IPS model transmisi kewarganegaaraan ini, oleh sebagian ahli dipandang sebagai bentuk proses pendidikan yang statis, bahkan konservatif. Hal ini dikarenakan di tengah kehidupan masyarakat yang dinamis di tengah perkembangan dunia yang terus mengalami perubahan, setiap anak manusia dituntut untuk memiliki kemampuan, pemikiran, dan keterampilan yang lebih luas dan kompleks. Jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang berkembang, maka pembelajaran model transmisi kewarganegaraan ini kurang relevan. Oleh karena itu, proses pembelajaran IPS yang relevan untuk masyarakat Indonesia saat ini perlu terus dikembangkan.

  1. Pembelajaran IPS sebagai Ilmu Sosial

Pembelajaran IPS sebagai ilmu sosial didasarkan pada asumsi bahwa
peserta didik dapat berpikir secara kritis, mampu mengobservasi dan
meneliti seperti apa yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial. Tujuan pengajaran IPS sebagai ilmu sosial adalah menciptakan warga negara yang mampu belajar dan berpikir secara baik, seperti yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial. Cara berpikir demikian harus menjadi landasan untuk menanggapi, menginterpretasikan dan menggunakan pengetahuan sosial. Peserta didik harus mampu berpikir sesuai dengan bidang keilmuan ilmu sosial yaitu berpikir sesuai dengan struktur ilmu sosial. Cara berpikir demikian penting untuk menyusun generalisasi pada suatu bidang ilmu sosial dalam rangka memperoleh dan menemukan pengetahuan yang baru. Dalam hal ini tiap bidang keilmuan memiliki teknik untuk melakukan penelitian yang memerlukan pengujian suatu hipotesis. Guru yang mengajarkan IPS sebagai ilmu sosial harus memiliki keyakinan bahwa cara ini merupakan sarana yang baik untuk mempersiapkan warga negara yang dapat berpikir seperti ahli ilmu sosial. Mereka dapat merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, melakukan analisa data, dan dapat menarik simpulan sesuai dengan berbagai bidang keilmuan ilmu sosial. Dengan demikian, mereka diharapkan dapat menjadi warga negara yang demokratis, dan dapat berpikir seperti apa yang dilakukan oleh para ahli ilmu sosial. Kondisi tersebut sesuai dengan keinginan para ahli ilmu sosial bahwa anggota masyarakat sejak usia muda dapat mengamati dunia sekitarnya melalui penglihatan seperti ahli ilmu sosial, mengajukan berbagai pertanyaan, dan menerapkan metode analisis serta konsep-konsep yang digunakan para ahli ilmu sosial. Dengan cara demikian, para peserta didik dapat memahami struktur dan proses sosial di sekitarnya. Pembinaan warga negara atau warga manyarakat tidak hanya ditekankan pada aspek kemampuan intelektuanya, tetapi diseimbangkan dengan aspek kemampuan emosional dan keterampilannya. Pengajaran IPS yang bersifat akademis terhadap ilmu sosial seperti digambarkan di atas seolah olah tidak memperhatikan aspek emosional, sementara kehidupan bermasyarakat sarat dengan ungkapkan dan gejala-gejala sosial yang
bersifat emosional.

  1. Pembelajaran IPS sebagai Inkuiri Reflektif

Sebelum meninjau pembelajaran IPS sebagai inkuiri reflektif, terlebih dahulu akan dibahas apa yang dimaksud dengan inkuairi reflektif agar mudah memahami bahasan selanjutnya.
Inkuiri dalam bahasa Indonesia berarti pertanyaan atau pemeriksaan, sedangkan inkuiri pada konteks IPS tidak hanya berarti pertanyaan atau pemeriksaan, tetapi lebih luas dari pada pengertian tersebut. Sehubungan dengan itu, John Jarolimek mengemukakan hal berikut.
The Major goal of inquiry oriented teaching is to develop in pupils those attitudes and skills that will enable them to be independent problem solvers. This involves more than simply knowing where to go to get needed information. It requires an attitude of curiosity, the ability to anylize a problem, the ability to make and test “hunches” (hypotheses), and the ability to use information in validating conclusion, inquairy always involves a search for information that is problem related, such problem being in part generated by the pupils themselves.

Jadi, pengertian inkuiri tidak hanya terbatas pada pertanyaan atau pemeriksaan, tetapi meliputi pula proses penelitan, keingintahuan, analisis sampai dengan penarikan simpulan tentang hal-hal yan diperiksa atau diteliti. Dalam rangka pengajaran IPS, wawasan inkuiri ini diarahkan kepada kemampuan peserta didik dalam berpikir kritis dan menjadi orang yang secara bebas dapat memecahkan sendiri masalah yang dihadapinya. Berkenaan dangan inkuiri ini, James L. Barth & S.Samuel Shomis juga mengemukakan penjelasan sebagai berikut:

Inquiry as a method means that a teacher & his student will identify a problem that is of considerable concern to them and to our society and that relevant facts & values will be examined in the light of criteria.

Pada penjelasan ini, pengertian inkuiri juga meliputi pengidentifikasianmasalah sosial yang harus ditelaah. Jadi, proses inkuiri merupakan prosesbepikir yang lebih kritis dan lebih mendalam. Dalam kaitannya dengan haltersebut, yang dimaksudkan dengan inkuiri reflektif adalah proses berpikiryang mendalam dan merefleksikan pengalaman, atau dengan perkataan laindapat dikatakan sebagai proses merenung. Oleh karena itu, proses inkuairi
reflektif atau berpikir dan merenung tidak hanya berpikir untuk memeriksaatau meneliti sesuatu persoalan, tetapi berhubungan pula dengan sikappenilaian pengungkapan pengalaman. Konsep inkuiri reflektif yang diterapkan pada IPS sebagai inkuiri reflektifdiambil dari filsafat John Dewey yang mulai berkembang pada permulaanabad ke-20. Kunci proses inkuiri reflektif tardapat pada konsep-konsep, minat, nilai, berpikir kritis, dan terlibat ke dalam ha-hal yang janggal di sekitar. Pembelajaran IPS sebagai inkuiari reflektif berlangsung ketika peserta didik dilibatkan ke dalam suasana kehidupan yang nyata, yang penuh dengan persoalan yang harus diteliti dan dipikirkan secara kritis. Peserta didik dilatih untuk membuat suatu keputusan tentang hal-hal yang berkenaan dengan kebijakan dan kehidupan demokrasi, mereka harus mampu mengelola dirinya sendiri, serta mampu berlaku dan bertindak sebagai anggota masyarakat. Pengajaran IPS sebagai inkuiri reflektif atau sebagai proses penelaahan dan pemikiran yang mendalam, merupakan teknik atau strategi pembelajaran yang bermanfaat dalam membina peserta didik menjadi kritis, kreatif, dan mampu memecahkan masalah yang dihadapinya. Secara lebih jauh lagi, peserta didik dapat diarahkan mampu membuat keputusan yang berkaitan dengan hal-hal yang dialaminya sehari-hari. Dengan demikian, model pembelajaran inkuairi merupakan salah satu model yang tepat untuk menciptakan manusia sebagai cendekia.

A.    Latihan

Kerjakan secara individu tugas  berikut ini. Bacalah uraian materi pada bab ini tentang tiga tradisi pembelajaran IPS yang telah diuraikan di atas. Kemudian bandingkan dengan tradisi pembelajaran IPS yang telah dan sedang berlansung di Indonesia. Tentukan model atau tradisi yang dominan dilakukan dalam pembelajaran IPS di Indonesia. Buatlah  hasil analisis saudara dalam bentuk laporan tertulis.


D. Rangkuman

Ide IPS pertama kali muncul di Amerika Serikat yang adopsi dari nama sebuah lembaga yang bernama committe of social studies. Latar belakang Lahirnya IPS dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek sosiologis dan aspek pedagogis. Aspek sosiologis dilatarbelakangi oleh kondisi sosial masyarakat yang mengalami ketidakstabilan, bahkan kekacauan. Hal ini nampak pada pola interaksi antar lapisan masyarakat yang tidak harmonis, yang digambarkan dengan kehidupan kaum buruh dengan sesama buruh dan antara kaum buruh dengan majikan yang mempekerjakan mereka dalam masyarakat Inggris sebagai dampak dari revolusi industri. Berbeda dari aspek sosiologis, aspek pedagogik lebih menekankan upaya mengatasi pembelajaran ilmu sosial yang belum menyentuh kehidupan riil peserta didik karena sifat ilmiah yang dimiliki oleh ilmu tersebut. Latar belakang sosiologis dan pedagogis tersebut kemudian melahirkan tiga tradisi pembelajaran IPS, yang masing-masing dengan urgensi yang berbeda. Ketiganya adalah 1) pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan, 2) pembelajaran IPS sebagai ilmu sosial, 3) pembelajaran IPS sebagai inkuiri yang reflektif. Demikian juga yang terjadi di Amerika Serikat menggambarkan kondisi masyarakat yang kental dan lekat dengan segregasi sosial. Keadaan yang demikian itulah yang melatarbelakangi munculnya IPS sebagai solusi dari masalah yang dihadapi masyarakat pada waktu itu.

D. Penilaian
1.  Uraikan latar belakang lahirnya IPS ! (bobot 30)
2.  Analisis perkembangan IPS di Indonesia! (bobot 40)
3.  Diskripsikan tiga tradisi pembelajaran IPS ! (bobot 30)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar